Waspadai Kelangkaan Air Hingga 2040

Waspadai Kelangkaan Air Hingga 2040

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Potensi kelangkaan air menghantui kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia hingga 2040. Karenanya Pemerintah diharapkan untuk mewaspadainya. Peneliti dari Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ignasius Dwi Atmana Sutapa mengatakan Indonesia harus berupaya mengamankan ketahanan air. Sebab negara kepulauan ini menjadi salah satu negara yang terancam menghadapi risiko kelangkaan air (water stress). \"Prediksi ini disampaikan sebelum masa COVID-19 bahwa Asia Pasifik termasuk Indonesia akan menghadapi water stress setidaknya-tidaknya sampai tahun 2040,\" katanya dalam diskusi virtual LIPI, Kamis (23/7). Diterangkannya, permasalahan air sudah menghantui kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia sebelum adanya COVID-19. Beberapa isu terkait permasalah air, yaitu polusi air, peluang konflik karena air bersih, kekeringan dan banjir, kurangnya air bersih dan sanitasi serta berkurangnya biodiversitas. \"Persoalan-persoalan itu juga semakin diperparah dengan adanya perubahan iklim,\" tegasnya. Dijelaskannya berdasarkan riset World Resources Institutes (WRI) dan Aqueduct, Indonesia masuk dalam kategori tinggi untuk permasalahan kelangkaan air. Karenanya harus segera dilakukan upaya untuk ketahanan air. \"Indonesia juga masuk dalam lima besar konsumen air global dengan paling banyak digunakan untuk pertanian,\" ungkapnya. Executive Director of Asia Pacific Centre for Ecohydrology (APCE) - UNESCO Category II Centre itu juga mengatakan Indonesia, berada dalam kategori rentan bila tidak dilakukan upaya-upaya signifikan untuk mengamankannya. Pandemi COVID-19 memberikan dampak kepada tindakan manusia, penyesuaian konsumsi dan tingkat prioritas, termasuk terkait air. Terjadi penurunan volume konsumsi air minuman dalam kemasan saat pandemi. Namun, di sisi lain, keterbatasan aktivitas di berbagai negara akibat pandemi juga memberikan dampak positif dengan meningkatkan kualitas air di beberapa wilayah. \"Air, ke depan bukan hanya menjadi resources tapi juga aset penting karena air berkaitan dengan pangan juga energi,\" katanya. Dia juga meminta agar cara pandang akan air harus berubah untuk ke depannya. Pemerintah sendiri menyadari pentingnya permasalahan air dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang memiliki tren berkurang dan kebutuhan yang meningkat akan air. Untuk itu dia menyarankan pendekatan ekohidrologi yang mengintegrasikan antara hidrologi, ekologi, ekoteknologi dan budaya. \"Itu harus dimanfaatkan, disinergikan untuk mengelola. Karena mengelola sumber daya tidak bisa lagi misalnya terpisah-pisah, tapi terintegrasi,\" katanya. Sementara sebelumnya, Kepala Sekretariat Dewan Sumber Daya Air Nasional, Happy Mulya mengatakan di Indonesia, Pulau Jawa merupakan pulau yang ketahanan airnya sangat rendah. Dengan mayoritas penduduk terbesar, Pulau Jawa indeks ketahanan airnya hanya 1.210 m3/kapita/tahun. \"Hasil dari neraca air nasional sudah merah(kritis), jumlah penduduk Pulau Jawa sekarang 135 juta ,\" katanya. Dikatakannya, salah satu penyebab ketahanan air di Jawa rendah, karena masifnya alih fungi lahan. Sebab, dahulu kondisi hutan dan tutupan lahan di Pulau Jawa masih cukup bagus, namun seiring waktu berubah menjadi pemukiman, industri, dan lainnya sehingga mempengaruhi daya dukung lingkungan. \"Jadi itu yang membuat kritis,\" imbuh Happy. Selain Jawa, beberapa provinsi yang masuk kategori kritis ketahanan airnya, yakni Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Sumatera Barat bagian selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara. Dia mengatakan langkah tepat untuk meningkatkan ketahanan air adalah tutupan lahan dan reboisasi hutan. \"Kalau ada pohon atau hutan banyak menyimpan air di situ. Dengan kondisi sekarang hutan telah berkurang, ini yang menjadi PR (Pekerjaan Rumah) kita,\" ujarnya. Reboisasi terhadap kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) harus menjadi prioritas. Dalam hal ini tentu saja peran serta Kementerian/Lembaga, dan dukungan pemerintah daerah, dan masyarakat. \"Karena air untuk anak cucu dan kita, akan sangat susah kalau kita tidak bisa kendalikan kerusakan hutan, karhutla dan lain-lain,\" ucapnya.(gw/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: