Sheren Pawitandirogo
Sejumlah alumni Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu menggelar aksi serta membentangkan poster, banner, dan pamflet-pamflet kecil bertuliskan seruan menolak kekerasan seksual menjelang sidang tuntutan JE di depan PN Malang, Jawa Timur, Rabu 20 J--disway.id
Oleh: Dahlan Iskan
INI tidak objektif. Tidak cover both side. Jangan ditelan begitu saja. Saya sudah berusaha mencari Sheren Desandra. Atau nama di KTP-nya: Sheren Della Sandra. Tidak berhasil.
Harian Disway juga sudah mengontak lewat IG Sheren. Juga tidak direspons. IG itu, Anda sudah tahu, bukan IG yang dikunci. Siapa saja boleh akses.
Julianto sendiri, yang diadukan Sheren ke polisi, sudah dituntut oleh jaksa 15 tahun penjara. Pekan lalu. Di pengadilan negeri Malang. Proses berikutnya adalah pembelaan dari terdakwa.
Setelah pembelaan itu sidang acara sidang berikutnya replik. Jawaban jaksa atas materi pembelaan. Lalu duplik, jawaban terdakwa atas jawaban jaksa. Acara terakhir: vonis. Putusan hakim.
Kenapa Julianto tidak dituntut hukuman mati?
Atau penjara seumur hidup?
Bukankah –kalau Julianto dikategorikan predator seks– bisa diancam hukuman mati?
Atau seumur hidup. Atau 20 tahun? Apalagi kalau status predator itu dilakukan terhadap anak-anak di lembaga pendidikan milik Julianto sendiri?
Kenapa tuntutannya hanya 15 tahun? Biarlah proses peradilan berjalan.
Saya lebih tertarik pada sosok ini: Risna Amalia. Dia ibu asrama saat Sheren masih sekolah SMA di Selamat Pagi Indonesia (SPI) Batu, dekat Malang. Sejak Sheren naik ke kelas dua.
Risna tinggal di asrama itu. Bersama suami dan anaknya. Kamar yang ditempati Risna di depan persis kamar Sheren. Di lantai 1 asrama itu.
Luas kamar itu 4 x 4 meter. Diisi oleh empat siswi. Ada dua tempat tidur tingkat di kamar itu. Sheren di bawah. Kamar mandi di luar kamar.
Tahun-tahun itu baru ada satu asrama: tiga lantai. Lantai 1 dan 3 untuk putri. Lantai 2 untuk putra.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: disway.id