Influencer dan Endorsemenet: Ketika Uang Bicara Lebih Keras dari Kejujuran

Influencer dan Endorsemenet: Ketika Uang Bicara Lebih Keras dari Kejujuran

Mahasiswa Magister Akuntansi UGM Yogyakarta, Citra Ayu Nastiti Hangayomi-DOK-MAGELANG EKSPRES

MENJADI influencer kini menjadi profesi yang banyak diidamkan oleh generasi muda saat ini. Tak hanya kalangan remaja, para profesional muda pun berbondong-bondong menekuni dunia konten digital demi meraih penghasilan melalui endorsement dan kerja sama dengan berbagai merek.

Sekilas profesi ini tampak menarik karena memberikan kesempatan untuk mendapatkan produk gratis, undangan eksklusif, dan penghasilan besar hanya dari unggahan media sosial. Namun di balik gemerlap itu, tersimpan persoalan etika yang tak bisa diabaikan.

Dalam beberapa tahun terakhir, linimasa media sosial di Indonesia dipenuhi konten promosi yang sulit dibedakan antara opini pribadi dan iklan berbayar.

Banyak influencer menampilkan produk tanpa menyingkap fakta bahwa unggahan mereka adalah bagian dari kontrak komersial. Lebih mengkhawatirkan lagi, sebagian mempromosikan produk yang belum teruji, mulai dari kosmetik hingga investasi berisiko tinggi.

Kasus promosi trading ilegal dan penipuan crypto oleh sejumlah selebgram menjadi peringatan keras bahwa pengaruh di dunia digital dapat dengan mudah disalahgunakan ketika etika diabaikan.

BACA JUGA:Bisnis Tak Sekadar Cuan: Saat Branding Sehat Tak Sejalan dengan Etika

Dalam kacamata etika bisnis dan komunikasi digital, praktik semacam itu merupakan bentuk manipulasi publik.

Ketika kepentingan komersial disamarkan di balik citra personal, publik disesatkan oleh kesan seolah rekomendasi itu lahir dari pengalaman nyata, bukan hasil kontrak berbayar.

Padahal, prinsip kejujuran (honesty) dan keterbukaan (transparency) adalah fondasi utama dalam komunikasi publik. Saat audiens tidak mengetahui bahwa konten bersponsor, hak mereka atas informasi yang benar ikut dilanggar.

BACA JUGA:Perkuat Fundamental Bisnis Melalui Transformasi, BRI Cetak Laba Rp 26,53 Triliun

Ironisnya, fenomena ini justru banyak dilakukan oleh generasi milenial dan Gen Z yang dikenal paling melek teknologi.

Mereka piawai membaca algoritma dan menciptakan engagement, tetapi sering lupa bahwa kepercayaan publik bukan sekadar angka di dashboard analitik. Sekali kejujuran dikorbankan, kredibilitas akan sulit dipulihkan.

Survei Cube Asia (2024) mencatat 87 persen konsumen Indonesia pernah membeli produk berdasarkan rekomendasi influencer. Angka ini menunjukkan betapa besar kekuatan personal branding dalam membentuk perilaku pasar.

BACA JUGA:Dosen Untidar Lakukan Pengabdian Masyarakat di Bidang Pengelasan Listrik di Sukorejo Mertoyudan

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: