MAGELANGEKSPRES.COM,Berbekal sepotong informasi dari sebuah video singkat dari jejaring video Youtube, seorang Etnomusikolog atau peneliti musik etnik asal California, Amerika Serikat Palmer Keen, mantap mendatangi Dusun Kasiyan, Desa Damarkasiyan,Kecamatan Kertek, Wonosobo belum lama ini. PALMER yang dua tahun terakhir tinggal di Yogyakarta sudah fasih berbahasa Indonesia dan banyak mendokumentasikan seni tradisi yang hampir punah termasuk Bundengan. Hingga akhirnya Palmer melihat sebuah video berjudul Srandul Kasiyan dan penasaran dengan keberadaannya. Hal itu mengingat video sudah diunggah pada 2017 lalu. Meskipun kesenian Srandul juga dikenal masyarakat di lereng Gunung Sindoro-Sumbing, di Wonosobo sendiri, kesenian itu kurang dikenal jika dibandingkan topeng lengger maupun jathilan. “Saya lalu mengontak Luqmanul Chakim setelah melihat video itu dan setelah tanya ke beberapa orang di Wonosobo, tidak ada yang tahu. Akhirnya saya putuskan untuk langsung ke Kasiyan bersama Luqman dan temui langsung senimannya. Ternyata di sini namanya kesenian Sandul,” ungkapnya. Berbekal informasi singkat itu, akhirnya Palmer dan Luqman dituntun menemui Samijan Subagiyo, seniman Sandul generasi ke-6 dari grup kesenian Rukun Mulyosari yang meneruskan kesenian itu dari ayahandanya almarhum Jaswo. Subagiyo sendiri menikahi seorang seniman penari dan sinden lengger, Tiyono Tiwuk atau yang akrab disapa Tinuk. “Ternyata kesenian ini tidak dicatat tembangnya dalam teks dan diwariskan turun-temurun lintas generasi. Bercerita tentang daur kehidupan dan keseharian petani. Mulai dari menebar benih, mencangkul, menanam, memelihara tanaman, hingga panen dan akhirnya menjual hasil panen. Itu semua dirangkum dalam sekitar 15 tembang yang dikemas secara teatrikal, mirip ketoprak, namun hanya bisa dinyanyikan mereka yang terpilih saja,” ungkapnya. Dikatakan Subur, putri dari Subagiyo bahwa mantra atau rapalan Sandul tidak boleh sembarangan dipelajari ataupun diajarkan oleh siapapun. Ada kepercayaan bahwa tanpa ritual atau tirakat yang tepat, orang yang belajar rapalan Sandul bisa menjadi gila atau terkena penyakit. “Teks tertulis untuk tembang atau parikan atau mantranya memang tidak ada. Jadi harus diturunkan dari orang ke orang secara lisan. Dan bahkan ada yang langsung hafal saat menari. Sandul ini sebuah rangkaian, jadi kalau ada 15 tembang. Semuanya harus ditampilkan semalam suntuk, tidak boleh diambil tengahnya saja,” kata Subur. Jenis alat musik yang mengiringi kesenian Sandul khas Kasiyan juga terbilang unik mengingat masih menjaga keasliannya sejak era Kolonial. Menurut Subur, instrument dasarnya ialah bende, kendang, dan angklung mengiringi parikan yang dilantunkan para penari secara bergantian. Sedangkan kostum yang dipakai juga menyesuaikan dengan peran penampil, diantaranya baju putih, selendang, dan kacamata, baju berwarna merah, riasan lengger, hingga beberapa peran seperti orang cina (pedagang), orang belanda, dan kostum lurah. “Biasanya pentas puncaknya jam 12 malam dan saat itu muncul lakon Badut Sandul, ada yang bilang Srandul ada yang bilang Serandul. Diyakini sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Pertunjukan ini biasanya dibuka dengan kuda lumping. Untuk mementaskan tidak boleh mendadak karena minimal pemain harus puasa sedikitnya tiga hari, biasanya puasa mutih. Jumlah penari bisa sampai 15 orang semalam suntuk dan masih ada lengger lanangnya,” pungkas Subur. Untuk menampilkan Sandul, menurut Subur, biasanya dibutuhkan dana di kisaran Rp4 juta hingga Rp5 Juta mengingat jumlah pemain cukup banyak, termasuk pemain musik, penari, dan pemeran tokoh dalam ceritanya, belum lagi kebutuhan transportasi untuk mengangkut alat musik, property, serta kebutuhan untuk make up. Sandul juga umumnya ditampilkan saat ada hajat besar seperti pesta perkawinan hingga pesta sunatan. (*)
Palmer Keen asal Amerika Serikat Jelajahi Dusun Kasiyan, Wonosobo Gali Kesenian Sandul yang Diwariskan Turun-
Kamis 13-02-2020,07:15 WIB
Editor : ME
Kategori :