MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Program vaksinasi COVID-19 harus dianggarkan dengan baik, agar tak membebankan BPJS Kesehatan. Skema pemberian harus jelas dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran Kementerian Keuangan, Didik Kusnaini, standar pelayanan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan harus diatur dan mencakup berbagai rekomendasi kesehatan. Terutama di masa pandemi COVID-19 dalam rangka program vaksinasi. Pemerintah harusnya tidak membebankan program vaksinasi COVID-19 dalam tanggungan BPJS Kesehatan. Sebab vaksinasi merupakan pengecualian dan produk program pemerintah. \"Yang pasti ini jadi beban JKN,\" katanya, Selasa (20/10). Diterangkannya, ada beberapa layanan yang semula jadi bagian dari JKN dan tidak tanggung pemerintah. Misalnya pada program perawatan gigi yang sifatnya ke arah estetik. Ini tidak lagi jadi tanggungan JKN tetapi menjadi tanggung jawab masyarakat sendiri. \"Jadi kalau program pemerintah ya ditanggung pemerintah, kalau ada hal lain yang out over cover misalnya perawatan gigi yang arahnya estetik dan sejenisnya ini masih dalam kajian kami,\" katanya. Menurutnya, pemerintah dalam hal ini sebagai last resort yang harus menjadi penyokong bila terjadi sesuatu dengan JKN. Namun saat ini masalahnya bukan pada permintaan, tapi pemasukan dana. Karena itu, solusinya adalah meningkatkan iuran JKN. Lalu melakukan rasionalisasi dan efisiensi pengeluaran. \"Kita perlu berpikir membuka upaya kreatif, meskipun itu bukan hal yang bisa cepat dilakukan,\" katanya. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan agar para menteri menyiapkan komunikasi yang baik soal vaksin. Sehingga tidak menimbulkan kegaduhan seperti Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. \"Saya minta terkait dengan vaksin jangan tergesa-gesa, karena sangat kompleks, menyangkut nanti persepsi di masyarakat kalau komunikasinya kurang baik bisa kejadian seperti UU Cipta Kerja ini,\" ujarnya dalam rapat terbatas. Jokowi pun meminta agar komunikasi disiapkan secera matang. Terutama halal-haramnya vaksin. \"Saya minta benar-benar disiapkan mengenai vaksin, mengenai komunikasi publik terutama yang berkaitan dengan halal dan haram, berkaitan dengan harga, kualitas, dan distribusi seperti apa,\" katanya. Jokowi menambahkan titik kritis dari vaksinasi adalah implementasi. Ini tidak mudah dan harus dijelaskan ke publik. Termasuk juga siapa yang akan dapat vaksin gratis dan vaksin mandiri. \"Ini semua harus detil, jangan dihantam oleh isu, diplintir kemudian kejadian bisa masyarakat demo lagi, karena memang masyarakat sekarang ini dalam posisi yang sulit,\" terangnya. Jokowi mengungkapkan vaksin COVID-19 gratis nantinya akan ditangani oleh Kementerian Kesehatan. Adapun vaksin mandiri atau berbayar akan diurus oleh BUMN. \"Soal pelatihan vaksin saya minta WHO dilibatkan. WHO Indonesia agar mereka memberikan training-training sehingga standarnya menjadi jelas. Hati-hati mengenai vaksin, bukan barang gampang ini, setelah saya pelajari semakin hari, saya yakin tidak mudah,\" terangnya. Sementara pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah meminta agar pemerintah membuat regulasi yang jelas terkait program vaksinasi COVID-19, baik yang gratis maupun berbayar. Menurutnya, seharusnya vaksinasi COVID-19 dapat diberikan secara gratis. Namun karena anggaran, akhirnya ada skema mandiri atau bayar sendiri. \"Intinya negara itu jangan sampai \\\'berbisnis\\\'. Menurut saya, ya semuanya harusnya gratis enggak ada alasan dipilah-pilah seperti itu, tapi dengan asumsi sangat berat di anggaran jadi ada skema mandiri. Nanti upaya tegas ini harus diatur dalam sebuah regulasi yang komprehensif supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman di publik,\" jelasnya. Ditegaskannya, harus ada regulasi atau pengaturan mengenai vaksin mandiri. Misal, siapa saja yang harusnya masuk dalam kategori tersebut. Kriteria tersebut penting agar tak menimbulkan kecemburuan sosial. \"Kriteria itu harus diatur bagaimana yang mandiri ini atau seperti apa, makanya harus tegas nanti harus ada aturan yang mengaturnya supaya enggak ada kecemburuan sosial,\" ujarnya. Tak kalah penting ialah bagaimana nanti implementasi dari program tersebut. Penerapan program vaksinasi akan menjadi tantangan nantinya. \"Harus ada sanksi pula bagi pelaksana yang nanti ketahuan menarik tarif vaksin hingga menunda-nunda vaksinasi,\" katanya. Pemerintah juga harus bisa melakukan komunikasi, informasi dan edukasi yang intensif perihal vaksin. Hal itu untuk menjawab adanya beberapa masyarakat yang menolak ikut dalam program vaksinasi. \"Kejelasan akan kualitas vaksin tersebut mulai dari harga hingga kehalalannya juga sangat penting,\" ungkapnya. Di sisi lain, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Soemantri Brodjonegoro mengatakan dibutuhkan 360 juta dosis untuk 180 juta penduduk di seluruh penduduk Indonesia dalam menciptakan kekebalan populasi (herd immunity) terhadap COVID-19. \"Kalau menggunakan rumus herd immunity itu dua pertiga penduduk harus divaksin alias 180 juta karena satu orang butuh dua kali vaksin maka dibutuhkan minimal 360 juta dosis,\" katanya. Jika seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 270 juta jiwa divaksin, maka diperlukan 540 juta dosis vaksin. Untuk memenuhi kebutuhan vaksin, menurutnya, harus ada kapasitas produksi antara 360 juta sampai 540 juta dosis. Kapasitas ini barangkali tidak bisa dipenuhi oleh PT Bio Farma sendirian. Sebab kapasitas PT Bio Farma hanya mampu memproduksi 250 juta dosis vaksin per tahun. Karenanya, Kemenristek menggandeng dan bernegosiasi dengan beberapa perusahaan swasta yang bersedia untuk berinvestasi dalam pengembangan dari vaksin COVID-19. Perusahaan swasta tersebut antara lain PT Kalbe Farma, PT Sanbe Farma, PT Daewoong Pharmaceutical Company Indonesia, PT Biotis dan Tempo Scan. \"Beberapa dari mereka sudah berinvestasi dan sudah mengurus izin ke BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), sebagian lagi sedang mempersiapkan rencana investasi dan izin tersebut,\" ujarnya. Selain mengembangkan vaksin secara mandiri, penyediaan vaksin untuk masyarakat Indonesia juga dilakukan melalui upaya kerja sama dengan pihak luar negeri. Meski ada yang dibeli langsung dari luar negeri, tapi pemerintah lebih mengutamakan ada kerjasama yang melibatkan transfer teknologi misalnya paling tidak untuk memindahkan vaksin yang dikirim dari luar ke dalam botol-botol yang nantinya kemudian didistribusikan untuk keperluan vaksinasi. \"Kita sudah sudah membangun kerjasama, tidak hanya dengan China atau AstraZeneca tapi juga dengan Korea juga dengan Turki. Intinya kita mendorong kerja sama selama itu tentunya menguntungkan buat Indonesia,\" terangnya.(gw/fin)
Regulasi Vaksinasi Harus Jelas
Rabu 21-10-2020,03:11 WIB
Editor : ME
Kategori :