MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Rumah Subsidi banyak dikeluhkan konsumen. Permasalahan terjadi mulai dari pra transaksi, transaksi, dan pasca transaksi jual beli perumahan. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, bahwa persoalan letak atau lokasi perumahan yang jauh dari keramaian menjadi salah satu keluhan konsumen untuk rumah subsidi. \"Akibatnya, akses air bersih belum ada, sulitnya akses transportasi umum, jauh dari fasilitas umum, seperti sekolah, puskesmas, masjid,\" kata Tulus di Jakarta, Sabtu (22/8) \"Kategori lainnya yakni penambahan jumlah kamar, sehingga harga rumah menjadi lebih mahal dan subsidi KPR dicabut di tengah jalan karena faktor gaji konsumen,\" imbuhnya. Tulus menambahkan, terkait pengaduan perumahan nonsubsidi, terdapat beberapa kategori. Yakni konsumen terjebak pada promosi pengembang, konsumen tidak membaca kontrak perjanjian dengan detail, strategi pemasaran dengan pre-project selling (penjualan dilakukan sebelum proyek dibangun dengan properti yang dijual baru berupa gambar atau konsep) hingga terjebak pada klausul baku pada perjanjian standar. \"Metode penjualan pre-project selling perlu pengawasan ekstra,\" ujarnnya. Untuk itu, Tulus berharap pemerintah dapat lebih aktif memberikan edukasi terkait hak dan kewajiban konsumen kepada masyarakat. Mengingat, Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) di Indonesia saat ini masih berada di level mampu dengan skor 41,70 (2019), naik 0,03 poin dibandingkan tahun sebelumnya 41,40 poin. \"IKK negara maju skornya 53-67 dengan level berdaya. Terdapat empat level IKK, yakni paham, mampu, kritis, dan berdaya,\" terangnya. Sementara itu, Komisi Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mencatat, Hingga 4 Agustus 2020, BPKN menerima 2.420 aduan konsumen sektor perumahan dari total 3.269 aduan yang masuk. Jumlah aduan sektor perumahan tersebut menurutnya mencapai 74,03 persen sebagai aduan terbanyak. Koordinator Komisi Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal E Halim menyampaikan bahwa permasalahan konsumen perumahan terjadi mulai dari pra transaksi, transaksi, dan pasca transaksi jual beli perumahan. \"Untuk proses pra-pembangunan (pra-transaksi), insiden hak konsumen banyak menyangkut ketidakjelasan status lahan rumah yang dijual oleh pengembang, dan langkah pemasaran yang tidak sesuai dengan aturan oleh pengembang,\" katanya. Dalam proses pembangunan (transaksi), kata Rizal, insiden hak konsumen yang terjadi menyangkut lemahnya upaya perlindungan konsumen terhadap aspek perikatan jual beli antara pengembang, konsumen dan bank (lembaga pembiayaan). \"Selain itu, proses pasca pembangunan (pascatransaksi) yakni insiden hak konsumen banyak menyangkut sengketa terkait kualitas unit rumah (sarana dan prasarana), PPJB dan AJB yang tidak sesuai,\" tuturnya. Komisioner BPKN Rolas Sitinjak menilai, perlindungan konsumen sektor perumahan amat penting sebab diatur langsung oleh konstitusi, yakni Pasal 28 UUD 1945. Karena itu perlunya berbagi peran dalam melindungi rakyat sebagai konsumen mendapatkan hak untuk tinggal secara layak. \"BPKN siap bekerja sama dengan pihak lain seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perumaahan dan Pekerjaan Umum, OJK atau perbankan, YLKI dan lainnya untuk berbagi peran,\" ungkap Rolas. Menurut Rolas, permasalahan perumahan masih saja terus bergulir, dari permasalahan mengenai fasos-fasum, sertifikat, IMB, AJB, dan masih banyak permasalahan lainnya yang terkait pengabaian konsumen bidang perumahan. \"Paling banyak aduan atas kelalaian pelaku usaha yang tidak menyelesaikan pembangunannya tepat waktu,\" ujarnya. Sementara itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berharap kepada pemerintah daerah untuk memiliki peraturan mengenai penanganan pengaduan mengingat banyak juga masyarakat dari daerah yang mengadu tentang perumahan. \"Banyak masyarakat yang mengajukan pengaduan kepada kami tentang masalah perumahan. Kami siap untuk membantu masyarakat agar permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik,\" ujar Direktur Rumah Umum dan Komersial Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR, M Hidayat. Berdasarkan data yang dimiliki Kementerian PUPR, jumlah pengaduan masyarakat yang diterima Direktorat Rumah Umum dan Komersial Ditjen Perumahan Kementerian PUPR terkait perumahan mulai dari 2018 lalu sampai 2020 ini per tanggal 14 Agustus 2020 berjumlah sekitar 219 pengaduan. Selain masalah pengelolaan unit hunian, banyak pengaduan dari masyarakat juga terkait dengan masalah pengelolaan lingkungan hingga perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). \"Pengaduan masyarakat di bidang perumahan masih menjadi pekerjaan rumah kita semua dan harus diselesaikan. Pemerintah tentunya harus berada di tengah-tengah dengan proaktif melakukan mediasi, melihat akar permasalahan dan meriew apa yang terjadi di lapangan,\" tuturnya. Hidayat juga mengungkapkan, bahwa pengaduan masyarakat tidak hanya berasal dari mereka yang btinggal di rumah tapak saja tapi juga rumah susun. \"Banyak juga pengembang yang diadukan terkait pelayanan dan peraturan yang sulit dilaksanakan oleh konsumen,\" ujarnya. Selain itu, lanjut Rolas, ada juga pengaduan masyarakat yang mengadukan P2SRS di rumah susun terkait masalah pengelola unit hunian, Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) dan di rumah tapak biasanya terkait pengelolaan prasarana, sarana dan utilitas (PSU), listrik dan iuran sampah yang terlalu mahal. \"Ada juga konsumen yang \"dikibulin\" oleh oknum pengembang karena uang muka untuk pembelian rumah bayar dibawa kabur dan tidak bisa dikembalikan. Kami siap melakukan mediasi jika memang masyarakat merasa dirugikan,\" pungkasnya. (der/fin)
Rumah Subsidi Banyak Dikeluhkan Konsumen
Senin 24-08-2020,03:49 WIB
Editor : ME
Kategori :