MAGELANGEKSPRES.COM,Bertani sangat identik dengan tanah dan mencangkul, sehingga kerap membuat kendor semangat bagi kebanyakan orang untuk terjun menjadi petani. Namun, tidak bagi Bayu Sagoro, pria berumur 53 tahun ini nekat terjun menekuni dunia pertanian dengan sistem hidroponik, meskipun dirinya tidak punya latar belakang sebagai petani. Menjadi seorang petani awalnya sama sekali tidak terlintas dalam pikiran Bayu Sagoro, warga Perumahan Sembawang Desa Campursari Kecamatan Bulu. Sebab bertani sangat identik dengan kerja keras dan mencangkul. Suami dari Idawati Harsongko (52) ini sama sekali tidak punya keahilan untuk bercocok tanam, namun dirinya memang nekat memilih dunia pertanian ini sebagai penyokong perekonomian keluarganya. \"Saya sama sekali tidak bisa mencangkul, tapi saya sudah sangat yakni dengan dunia pertanian,\" terangnya saat ditemui di kebun hidroponik miliknya. Dari keyakinan dan kekurangannya tidak bisa mencangkul ini, dirinya kemudian mencari referensi dunia pertanian yang bisa dilakoninya. Hingga akhirnya mendapatkan sistem pertanian yang sesuai dengan keinginannya yakni dengan sistem hirdoponik. \"Saya putuskan untuk terjun menjadi petani dengan sistem ini, awal saya mulai tanam yakni tanggal 1 November 2015,\" terangnya. Di awal bertani dengan sistem hidroponik ini, ia mengaku membangun green house seluas 350 meter. Dengan penuh keyakinan dan percaya diri, budidaya berbagai macam sayuran langsung dilakukannya, meskipun ia belum mengetahui cara atau sistem bertani dengan bagus. \"Saya nekat saja, karena sudah yakin maka saya lakukan dengan sepenuh hati. Setiap hari itu ada tetangga yang lewat, kebetulan mereka adalah petani dan memberitahukan kepada saya tetang cara bertani,\" tuturnya. Kendala dan permasalahan datang silih berganti, hingga akhirnya dari sayuran yang ditanamnya memasuki masa panen raya. Pada awal panen, dirinya mengaku bingung dengan pemasaran sayuran dari kebun hidroponiknya. \"Sudah berhasil tanam, tapi bingung mau dijual kemana sayuran milik saya ini,\" tutur mantan karyawan International Monetary Found (IMF) ini. Namun lanjutnya, berkat kerja keras istri tercintanya Idawati, yang rela menawarkan sayuran kepada handaitolannya di Jogjakarta, akhirnya sayuran dari kebunya ini laku terjual. \"Sayuran dari kebun saya ini memang harganya jauh lebih mahal dari petani tradisional, jadi saya tidak mungkin menjualnya ke pasar dengan harga yang sama. Ini tidak adil dan saya tidak akan merebut pasar sayuran dari petani konvensional,\" tuturnya. Tidak sampai di situ saja, panen kedua juga menjadi permasalahan baru, tidak mungkin akan menjualnya ke teman-temanya lagi. Dari sini kemudian istri tercintanya yang merupakan mantan pegawai bank dunia ini mencoba menawarkan sayuran ke masyarakat dan sejumlah lembaga. \"Pelanggan saya ini pelanggan khusus, masyarakat yang sedang sakit, dan masyarakat yang benar-benar memperhatikan kesehatannya,\" tuturnya. Tahun demi tahun berjalan, dan akhirnya saat ini dirinya tidak hanya menanam sayuran saja, namun juga mengembangkan tanaman tomat dari sistem ini. Jenis sayuran yang ditanam ada puluhan macam, di antaranya, seledri, cesin, daun bawang, bayam, kangkung dan yang lainnya. \"Pelanggan sudah mulai banyak, ada yang masyarakat biasa, rumah sakit dan yang lainnya. Untuk tomat chery ini saya kirim ke Bali,\" terangnya. Ketika ditanya tentang hasil produksi dan omset penjualan, pria yang pernah berkerja di lembaga dakwah ini hanya tersipu malu. Bagi dirinya bisa bertani dengan sistem hidroponik dan bisa membayar karyawan serta biaya operasinal sudah sangat cukup. \"Ada empat karyawan, mereka saya gaji di atas Upah Minimum Kabupaten (UMK), belum kebutuhan saya dan istri. Alhamdulilah semua cukup dan terpenuhi,\" tandasnya. (*)
Tak Terlintas dalam Pikiran untuk Menjadi Petani
Selasa 25-02-2020,03:38 WIB
Editor : ME
Kategori :