Pameran lukisan Gus Sholeh Pati sendiri masih akan berlangsung di Hotel Atria, Jalan Sudirman Kota Magelang hingga 16 Juli 2022 mendatang. Total saat ini, Gus Sholeh sudah melukis lebih dari 1.500 karya, yang mayoritasnya adalah visualisasi makhluk-makhluk gaib.
”Khusus di Magelang kami juga menggelar lelang lukisan GSP (Gus Sholeh Pati) untuk anak-anak panti asuhan. Pameran kali ini, kami bertiga memamerkan 21 lukisan. Tidak hanya dari Magelang, tapi ada juga karya yang saya lukis dari tempat-tempat yang pernah saya kunjungi seperti, Bali, Sidoarjo, Padang, dan lainnya,” jelas Gus Sholeh.
Henri Yuni Susanto alias Gus Henk, perupa asal Kota Magelang itu mengaku jika lukisan hasil penelusuran mereka sengaja dipamerkan dalam rangka meningkatkan pamor pariwisata di Kota Magelang.
Terutama pariwisata sejarah dan penghormatan terhadap tokoh-tokoh pahlawan dari Magelang.
”Melalui lukisan kami ingin memberikan pemahaman kepada para generasi untuk tidak melupakan tokoh-tokoh pahlawan. Kota Magelang ini kaya potensi pariwisata, bila sejarah digarap dengan baik. Masih jadi PR bagi kami, ingin memvisualisasikan sejarah di Mantyasih, sebagai desa perdikan pertama di Magelang,” ucapnya.
Puluhan karya GSP, Gus Henk, dan Gus Zaki ini pun mengalir pujian dari Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Magelang, Joko Budiyono saat membuka pameran itu di Hotel Atria.
Menurut Joko, hal ini merupakan dukungan besar bagi pariwisata Kota Magelang yang kini tengah serius menggarap wisata religi.
”Baik wisata religi, olahraga, wisata alam, dan lain sebagainya dampak yang kami inginkan yaitu mampu menggerakkan ekonomi masyarakat. Kalau banyak tamu luar daerah, ramai-ramai berkunjung ke sini, tentu saja perputaran uang pun akan lebih besar, yang berimbas terhadap pergerakan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan daerah,” ujar Joko Budiyono.
Sementara itu, Budayawan Senior Magelang, Tri Yudho Purwoko menjelaskan bahwa karya lukisan tidak harus dipertanggungjawabkan secara empiris kebenarannya.
Lukisan termasuk karya seni, di mana itu bisa dinobatkan sebagai fiksi atau nonfiksi.
“Tinggal perspektif masing-masing individu saja mau menilai kebenarannya boleh, tidak pun tidak mengapa. Yang terpenting, kita harus saling menghargai karya-karya orang lain,” jelas Purwoko, salah satu pengunjung pameran lukisan GSP itu. (wid)