PURWOREJO - Makna filosofis yang terkandung dalam busana adat Jawa dibedah oleh Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kabupaten Purworejo. Hal itu menjadi salah satu penekanan dalam kegiatan pelatihan berbusana adat Jawa yang merupakan budaya nenek moyang yang sarat akan makna, kemarin.
Hal itu dikatakan Ketua DWP Kabupaten Purworejo Dra Erna Setyowati Said Romadhon pada kegiatan pelatihan berbusana adat jawa yang dlaksanakan di Kantor PKK Kabupaten Purworejo. Hadir pula penasehat DWP Fatimah Verena Prihastyari Agus Bastian SE, Ir Ely Pram Prasetyo MM, dan Suwarti SE sebagai narasumber.
Lebih lanjut Erna Said mengharapkan, pelatihan busana adat jawa ini supaya kita semakin mencintai budaya sendiri. Sehingga sebagai orang jawa juga bisa paham jenis-jenis dan waktu mengenakan busana adat jawa. Juga perlunya menanamkan kepada generasi muda untuk ikut serta dalam melestarikan budaya adat jawa.
Sementara itu narasumber Suwarti yang juga perias menjelaskan, busana adat jawa tediri tujuh jenias antara lain surjan, kebaya, batik, jawi jangkep, basahan, beskap, kanigaran. Masing-masing pemakiannya disesuaikan dengan acaranya. Seperti kebaya digunakan khusus kaum perempuan yang punya cirikhas biasanya warna hitam.
Sedangkan jawi Jangkep digunakan formal dan resmi saja dengan menggunakan atasan berwarna hitam. Dulunya baju adat Keraton Kasunanan Surakarta. Keris yakni gagang menghadap ke kanan sebagai perlambang kecenderungan terhadap barat. Ujung gagang menunduk ke bawah menandakan kerendahan hati. “Sehingga Pria yang menggunakan keris harus memiliki kerendahan hati. Memakai pakaian adat Jawa etitutnya sangat tinggi,” jelas Suwarti.
Menurutnya, kanigaran termasuk pakaian adat Jawa Tengah, tidak harus digunakan oleh pengantin dalam acara pernikahan. Pakaian kanigaran diperuntukkan untuk golongan bangsawan yang terbuat dari bludru yang biasanya berwarna hitam. Dahulu memang diperuntukkan raja, sehingga untuk sekarang kebanyakan dipakai pada saat pernikahan. Kanigaran memiliki nilai dan makna yang sangat tinggi, yang merujuk pada dandanan pengantin Kasultanan Ngayogyakarta.
Batik pakaian adat dari Jawa Tengah yang sangat mendunia, bahkan pada 2 Oktober 2009, Unesco mengakui bahwa batik adalah warisan budaya yang berasal dari Indonesia. Sejak saat itulah, batik populer digunakan untuk berbagai kesempatan. Batik mempunyai berbagai motif, ada yang motif sesuai dengan geografis budaya masyarakat setempat, dari pesisir biasanya lebih dinamis dalam pemilihan corak dan warnanya dibanding dengan dari daerah yang masih terpengaruh oleh budaya keraton. Seiring perkembangan zaman, model batik pun kian beragam. Tidak terkesan ketinggalan zaman, justru mampu meningkatkan kecintaan akan warisan budaya nasional.
arik merupakan pakaian adat Jawa berwujud sebuah kain panjang yang dikenakan untuk menutupi tubuh hingga sepanjang kaki. Bagi masyarakat Jawa Tengah, jarik memiliki filosofi tersendiri, yaitu sebuah tingkatan dalam hidup. Pada zaman dahulu, jarik digunakan pria maupun wanita untuk kegiatan sehari-hari. Tapi seiring berkembangnya zaman, jarik sudah mulai ditinggalkan.
Kelengkapan lainnya kata Suwarti, dodot, kemben, stagen (untuk mengencangkan jarik dan juga sebagai terapi perut agar tidak buncit). Pelengkap pakaian adat pria seperti blangkon dan kuluk yang merupakan penutup kepala. Terdapat monjolan dari kain yang dibundel pada bagian belakang blangkon. "Terdapat 2 ikatan pada bagian belakang blangkon yang diikat dengan kuat, dua ikatan tersebut diibaratkan dengan dua kalimat syahadat dan diikat kuat memiliki makna bahwa seseorang harus memiliki pendirian yang kuat," ujarnya. (luk)