MAGELANG, MAGELANGEKSPRES.DISWAY.ID– Sebagai kota yang sudah berusia tua yakni 1116 tahun, Kota Magelang layak memiliki wisata heritage. Kota Tua punya pengertian yaitu objek wisata sejarah yang berbasis warisan budaya dan merupakan wilayah perkotaan tempo dulu.
Fakta tersebut menjadi perhatian serius Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI) Jawa Tengah. Mengundang narasumber kompeten, IALI Jawa Tengah menggelar Obrolan Santai dengan tema “Heritage, Landscape, Peran Arsitek Lanskap dalam Melestarikan Sejarah” secara virtual, Sabtu (27/8) lalu.
Ketua Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI) Jawa Tengah Dr Yetty Setyaningsih SP MEng mengatakan, merawat sebuah kawasan atau bangunan yang mengandung nilai sejarah, sama halnya dengan merawat atau memelihara kehidupan. Sebab, tak sedikit nilai dari sebuah kawasan yang dapat dipelajari lebih dalam.
Hal itu yang membuat IALI Jawa Tengah perlu memberi intervensi terhadap kelestarian cagar budaya dari perspektif para arsitek lanskap. Turut dihadirkan dalam kesempatan tersebut yaitu Statistisi Pemkot Magelang, Nur Afiyah Maizunati.
“Obras keempat ini dilaksanakan secara virtual diikuti 86 peserta dari mahasiswa, akademisi, praktisi, dan beberapa arsitek lanskap,” kata Yetty.
Dia berharap, melalui kegiatan tersebut dapat menjawab permasalahan yang terjadi terkait heritage, terutama dalam mendongkrak tingkat kunjungan wisata museum-museum di Kota Magelang.
Statistisi Pemkot Magelang, Nur Afiyah Maizunati menjelaskan bahwa di Kota Magelang memiliki 51 cagar budaya. Sayangnya, meski memiliki banyak museum dan cagar budaya, tapi tingkat kunjungan masih sangat rendah.
”Dari tahun ke tahun hasil riset yang kami lakukan selalu menunjukkan tingkat kunjungan yang rendah. Dibanding dengan wisata eksotis, kunjungan ke cagar budaya tidak lebih dari 7,9 persennya saja,” ujarnya.
Menurutnya, hal ini dipengaruhi beberapa faktor seperti arah kebijakan yang masih menitikberatkan pariwisata eksotis dibanding dengan museum dan bangunan cagar budaya. Padahal, wisata museum dan cagar budaya lebih punya karakteristik edukatif dan inspiratif.
“Beberapa penyebab sehingga kunjungan wisatawan cagar budaya masih rendah adalah faktor citra, karena yang dipraktikkan sejauh ini masih bersifat konvensional. Seperti menggunakan leaflet, poster, dan lainnya, belum memanfaatkan teknologi digital maupun inovasi tertentu,” jelasnya.
Penyebab lainnya, kata Nur Afiyah, yakni termasuk faktor infrastruktur dan informasi terkait. Dia menyebut jika perwajahan website milik museum-museum Kota Magelang masih sederhana. Bahkan, hanya menuangkan sedikit saja informasi tentang museum tersebut.
Faktor lain, yaitu metode promosi yang dinilai kurang tepat sasaran. Betapa tidak, karena mayoritas museum hanya menjalankan strategi promosi dengan cara menyebarkan poster dan leaflet yang tak jarang langsung dibuang begitu saja.
”Padahal era sekarang sudah berbeda. Wisatawan kalau mau berkunjung, pastinya akan melihat informasi-informasi terlebih dahulu, seperti website, media sosial, dan lain sebagainya tentang museum tersebut. Kalau poster, mungkin langsung dibuang,” terangnya.
Di sisi lain, ia juga menjelaskan bahwa keberadaan guide profesional di Kota Magelang, terutama wisata cagar budaya masih sangat minim. Rata-rata wisata cagar budaya hanya mempekerjakan tenaga harian lepas (THL) yang dijadikan guide dadakan.
”Sangat jarang ada guide profesional, misalnya ASN yang memang menguasai sejarah dan komunikatif dijadikan guide,” tuturnya.
Oleh karena itu, untuk menambah daya dorong kunjungan wisata cagar budaya di Kota Magelang diperlukan penguatan kerja sama dengan lembaga pendidikan, komunitas, dan pegiat budaya. Lalu, penetapan prioritas wisata, peningkatan kualitas layanan, kerja sama dengan CSR, dan revitalisasi museum.
”Perlu upaya semua pihak untuk optimalisasi museum di Kota Magelang. Mulai dari membangun citra positif museum lewat pemanfaatan teknologi dan partisipasi masyarakat. Kami juga berharap ke depan, ada paket wisata terintegrasi antardestinasi, termasuk memasukkan wisata cagar budaya di dalamnya,” pungkasnya. (wid)