MAGELANG, MAGELANGEKSPRES.DISWAY.ID- Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sejak Sabtu (3/9) lalu memicu dampak negatif di berbagai sektor. Kebijakan itu dinilai tidak tepat di tengah tren ekonomi yang masih terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Demikian dikatakan Wakil Ketua Fraksi Demokrat DPRD Kota Magelang, Waluyo kepada wartawan, Rabu (7/9). Menurutnya, kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi justru akan semakin memberatkan masyarakat.
Sebelumnya, Presiden RI, Joko Widodo resmi mengumumkan kenaikan BBM bersubsidi maupun nonsubsidi di seluruh daerah, mulai Sabtu, 3 September 2022.
Harga Pertalite naik dari sebelumnya Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter. Adapun Solar naik dari sebelumnya Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter dan Pertamax naik dari Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter.
“Kenaikan harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi ini memberatkan kehidupan masyarakat, apalagi saat ini aktivitas ekonomi masyarakat pascapandemi baru saja mulai berangsur membaik. Jika terjadi kenaikan harga BBM, dikhawatirkan akan menghantam kembali daya beli masyarakat,” katanya.
Ia mengatakan, efek negatif yang ditimbulkan akan membuat pemulihan ekonomi semakin melambat. Oleh karena itu, dia menilai mestinya pemerintah memperhatikan kondisi ini dan memiliki empati.
“Kondisi masyarakat yang sudah terhimpit beban hidup akibat efek pandemi yang belum tuntas, ditambah sebelumnya sebagian bahan pokok masyarakat seperti minyak goreng, telur yang harganya melejit sehingga beban semakin bertambah,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Waluyo menyebut, kenaikan harga BBM pasti akan memberikan efek domino terhadap kenaikan harga barang pokok dan berbagai komoditas.
“Masyarakat saat ini sudah cukup berat menanggung beban semasa Covid-19. Khawatirnya masyarakat tidak lagi memiliki kemampuan daya beli yang cukup,” ucapnya.
Lebih lanjut, Waluyo mengatakan, saat ini pekerja sektor informal seperti petani, pelaku UMKM, sopir angkutan, ojek online, dan pedagang keliling akan semakin sulit bertahan hidup akibat kenaikan BBM. Pasalnya sebagian dari mereka seringkali tidak tersentuh oleh program bantuan sosial pemerintah.
“Selama ini, sebagian besar sektor UMKM dan informal tersebut memanfaatkan BBM bersubsidi dalam menjalankan usahannya. Efek domino kenaikan BBM bersubsidi dikhawatirkan berakibat pengusaha UMKM dan informal lainnya semakin kolaps. Efek makronya angka kemiskinan dan pengangguran akan semakin meningkat,” terangnya.
Meski saat ini kebijakan pemerintah akan memberikan bantuan subsidi upah atau pun BLT, namun kata Waluyo, langkah tersebut belum sebanding dengan dampak kenaikan BBM.
“Saya kira kurang efektif untuk menutup dampak kenaikan harga BBM, harus ada solusi yang lebih konkret,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya mencari terobosan untuk menambah anggaran dengan melakukan penghematan, menekan kebocoran, dan menunda pengeluaran pos infrastruktur yang tidak mendesak dari pada menaikkan harga BBM.
“Selain kondisi yang belum tepat, kekuatan ekonomi masyarakat juga masih lemah sehingga seharusnya kebijakan menaikkan harga BBM bisa dievaluasi,” pungkasnya. (wid/adv)