MAGELANG, MAGELANGEKSPRES.DISWAY.ID- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami pelemahan. Hingga, Kamis (8/9) kurs dollar AS mencapai Rp14.904,51. Imbas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 30 persen, yang telah diumumkan pada 3 September 2022 lalu, diperkirakan semakin memperburuk kekuatan rupiah.
Hal itu dikatakan Anggota DPRD Kota Magelang yang juga Ketua Fraksi Partai Demokrat, Kota Magelang, Marjinugroho, saat ditemui wartawan, Kamis (8/9). Mantan birokrat Pemkot Magelang dan pengamat ekonomi tersebut menilai, tren negatif rupiah disebabkan efek kejut kenaikan harga BBM di tengah situasi ekonomi yang belum stabil.
”Kebijakan menaikkan harga BBM di tengah situasi yang tidak jelas seperti ini akan memicu penurunan daya beli masyarakat, melemahkan kekuatan ekonomi rakyat, dan tentu saja memicu inflasi,” kata Marjinu.
Menurutnya, kenaikan harga Pertalite dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter. Harga Solar subsidi dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter dan harga Pertamax dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter sangat tidak relevan. Di samping kekuatan ekonomi masyarakat yang belum stagnan, harga minyak dunia pun saat ini sedang anjlok.
”Lantas alasan apa yang memaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan BBM, kalau dari sektor internal kita belum bisa pulih dari pandemi. Kemudian, dari sisi eksternalnya, harga minyak mentah sedang anjlok. Saat ini, harga minyak dunia terjun bebas di level US$80 per barel, sehingga sangat aneh kalau BBM justru naik,” jelasnya.
Ia menilai dari kacamata kelompok moneteris, sebenarnya bukan saja harga BBM yang naik, akan tetapi dampaknya adalah penurunan nilai mata uang rupiah. Ia mengasumsikan, jika sebelumnya hanya dengan Rp7.650 bisa mendapat 1 liter Pertalite, maka sekarang justru dibutuhkan Rp10.000 untuk Pertalite dengan jumlah yang sama. Begitu pula dengan harga rupiah di hadapan solar dan Pertamax.
”Ini berarti daya beli rupiah terhadap BBM terpangkas puluhan persen, yang akan dialami oleh semua pemegang rupiah di seluruh Indonesia. Sentimen negatif ini yang akan terus melemahkan nilai rupiah,” ucapnya.
Marjinu di sela tugasnya sebagai anggota dewan, menyempatkan untuk mendatangi sejumlah penyedia jasa ojek online di Kota Magelang. Usai berdialog, ia kemudian mengilustrasikan bahwa satu pekerja ojek online biasa menghabiskan Rp15.000 untuk 2 liter per hari agar bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp150.000 per hari. Namun, setelah harga BBM naik, pekerja ojek online itu harus merogoh kocek Rp20.000 untuk mendapatkan hasil yang sama.
”Praktis daya beli atau purchasing power dari pendapatan harianya berkurang, sekitar Rp5.000 per hari. Kalau sebulan Rp150.000. Belum lagi, kenaikan harga bahan pokok, uang jajan anaknya yang masih sekolah, dan kebutuhan primer lain, tentunya akan turut terkerek ketika BBM naik,” imbuhnya.
Menurut Marjinu, distribusi bantuan langsung tunai (BLT) sebagai pengganti kenaikan BBM bagi rakyat miskin juga kurang tepat. Pasalnya, berdasarkan ketentuan undang-undang, masyarakat dianggap miskin apabila pendapatannya kurang dari Rp500.000 per bulan.
”Sedangkan ojek online, kuli bangunan, pedagang kaki lima (PKL) itu pendapatannya lebih dari Rp30.000 per hari. Artinya mereka tidak masuk dalam klasifikasi miskin, sehingga dipastikan tidak mendapatkan BLT itu. Ini kan aneh. Subsidi BBM katanya selama ini dinikmati orang kaya, tapi faktanya justru dinikmati kalangan miskin dan menengah yang notabenenya memiliki pendapatan sedikit di atas Rp500.000,” paparnya.
Selain masyarakat pekerja informal, pelaku UMKM juga turut dikorbankan dengan kenaikan harga BBM. Efek yang semula dianggap biasa, akan terasa cukup tidak biasa.
”Orang-orang menganggap naik cuma Rp2.350 perak itu biasa. Tapi akan terlihat aslinya bahwa sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Misalnya inflasi barang-barang kebutuhan pokok tertentu yang tak bisa diatur pemerintah, seperti harga minyak goreng, cabai, telur, beras, dan lain-lain, yang sangat berpengaruh pada pengeluaran masyarakat,” tandasnya.
Belum lagi bahan material bangunan, tarif transportasi umum, tarif warung makan, dan lain sebagainya dipastikan akan naik. Padahal, harga-harga itu akan sulit diturunkan, meski harga BBM ke depan akhirnya diturunkan.
”Ini yang dikhawatirkan kita semua, tarif-tarif dan harga kebutuhan akan naik dan terlanjur naik. Tapi ketika BBM diturunkan, ternyata tarifnya sudah paten, tidak mau turun. Ini yang menurut saya adalah sebuah kesalahan dan pengambilan keputusan yang terlalu gegabah,” pungkasnya. (wid/adv)