BACA JUGA: Top 7! Inilah Daftar Museum Terfavorit di Solo yang Kaya Akan Koleksi Kuno
Awal Terciptanya Selat Solo
Awal kemunculan Selat Solo diketahui berawal sejak pembangunan Benteng Vastenburg yang terletak di depan gapura keraton Surakarta.
Tempat tersebut kerap terjadi pertemuan antara pihak Belanda dan keraton.
Dalam setiap pertemuan selalu disajikan makanan, namun makanan yang ada tidak sesuai dengan selera Belanda yang menginginkan makanan berbahan utama daging.
Sedangkan, raja terbiasa makan dengan sajian sayur dan tidak terbiasa makan daging besar dengan olahan setengah matang.
Alhasil untuk mengatasi hal ini, daging yang semestinya dimasak setengah matang diubah menjadi daging cincang yang dicampur sosis, telur, dan tepung roti.
Bahan-bahan tersebut dicampur lalu dibentuk menyerupai lontong dan bungkus menggunakan daun pisang. Kemudian, daging yang sudah dicampur tersebut dikukus hingga matang.
Daging yang sudah matang didinginkan, kemudian daging diiris tebal dan digoreng menggunakan sedikit margarin.
Pihak keraton melakukan modifikasi olahan daging ala Belanda dengan olahan menu baru yang dikombinasikan dengan sejumlah bahan-bahan, seperti aardappel (kentang), boon (buncis), wortelen (wortel), komkommer (ketimun), ei (telur), sla (slada), sojasous (kuah kecap), dan saus mayones.
Perpaduan ini menjadi makanan khas keraton Solo yang dikenal dengan Selat Solo.
BACA JUGA:Getuk Magelang, Warisan Budaya Pakuning Tanah Jawa
Keunikan Selat Solo
Ciri khas Selat Solo dibandingkan dengan olahan Belanda adalah adanya irisan telur rebus.
Kombinasi ini menjadikan Selat Solo berwarna dan menggugah selera.
Perbedaan lainnya antara Selat Solo dan steak Eropa adalah steak Eropa biasanya disajikan selagi panas, sedangkan Selat Solo disajikan dalam kondisi dingin.