Harga Kedelai Melambung, Pengrajin Tahu Berharap Pemerintah Turun Tangan

Harga Kedelai Melambung, Pengrajin Tahu Berharap Pemerintah Turun Tangan

MAGELANGEKSPRES.COM,TEMANGGUNG - Harga kedelai impor hingga saat ini belum mengalami penurunan, bahkan harganya masih tembus di angka Rp10.000 per kilogram. Kondisi ini mengancam keberlangsungan perajin tahu di Kabupaten Temanggung. Salah satu perajin tahu di Kecamatan Temanggung Mayang menuturkan, naiknya harga kedelai impor di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir ini sangat memberatkan para pelaku usaha tahu dan tempe. Bahkan, tak terkendalinya harga kini membuat para perajin terancam gulung tikar alias bangkrut. \"Jika harganya masih bertahan tinggi terus, bisa jadi kami tidak berproduksi lagi,\" keluhnya, kemarin. Menurutnya, selama pandemi Covid-19 ini, para perajin bahan makanan yang berbahan dasar kedelai sudah mulai kelimpungan, mulai dari permintaan yang menurun dan banyak permasalahan lainnya. Sekarang ditambah dengan harga kedelai impor yang naik. \"Sebelumnya usaha sudah morat-marit dihantam badai pandemi Covid-19, dan sekarang dihadapkan dengan kenyataan pahit, melejitnya harga kedelai impor,\" ujar Mayang. Menurutnya, kondisi ini mulai terasa tidak wajar sejak dua bulan lalu di mana harga kedelai mencapai Rp7.800 per kilogram. Lalu naik menjadi Rp8.000 per kilogram. Tidak berhenti sampai di situ, harga naik terus Rp8.500, sampai ke angka Rp8.800, kemudian Rp9.000 dan saat ini sudah tembus Rp10.000 per kilogram. Dulu dalam keadaan normal harga kedelai sekitar Rp6.000 an. Dalam hitungan mundur belasan atau puluhan tahun lalu sebenarnya perajin lebih senang menggunakan kedelai lokal karena rasanya lebih gurih dibanding kedelai impor. Baca Juga Pengedar Upal Beraksi Kapan Saja, Kapolres Temanggung Ingatkan Masyarakat Mewaspadai \"Sebenarnya lebih suka kedelai lokal karena rasanya lebih enak, dulu kami dapat dari Wonosari tapi sekarang sudah tidak ada. Kami berharap pemerintah segera turun tangan untuk mengatasi masalah ini. Kita sudah berat karena ada pandemi corona, sekarang masih dihantam harga kedelai yang tinggi. Selain mikir usaha juga ada 8 karyawan yang bergantung, mereka punya keluarga,\" keluh Mayang lagi. Mayang mengaku bimbang jika menaikkan harga khawatir minat konsumen akan turun, namun jika tidak naik usaha terancam bangkrut. Selain itu, alternatif mengecilkan ukuran atau volume tahu juga tidak lebih baik. Sebab konsumen itu selalu menginginkan harga murah, ukuran besar, dan rasa yang enak. Bagi perajin tahu tempe kestabilan harga menjadi sangat penting. Akhirnya ia lebih memilih mengurangi jumlah produksi yang penting usahanya tetap bisa berjalan. Jika dalam keadaan normal, Mayang mengaku, per hari bisa melakukan 30 kali masak, dan kini hanya 15 kali masak per hari. Untuk setiap kali masak diperlukan 10 kilogram kedelai, jadi paling tidak Mayang membutuhkan 3 kuintal kedelai per hari. \"Sekarang harga tahu per papan itu Rp50.000 bisa dipotong jadi 16 biji, tapi kalau untuk tahu petis bisa jadi 100 biji. Bingung mau naik nanti pasarannya sulit, kalau tidak kita nggak kuat dengan harga kedelainya. Baiknya pemerintah itu mendorong dibudiyakannya kedelai lokal agar tidak tergantung impor seperti sekarang,\" pintanya. Agus salah satu pelaku usaha menurutkan, naiknya harga kedelai sangat berpengaruh terhadap penjualan, karena saat harga naik, maka para perajin tahu maupun tempe mengurangi porsinya. Sehingga ukuran tahu atau tempe menjadi lebih kecil. \"Kadang sampai malu ditanya konsumen, kok ukuran tahunya semakin kecil. Namun apa boleh dikata, karena memang bahan dasar pembuat tahu sedang naik,\" tuturnya. (set)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: