Harganya Tak Menentu, Cengkeh Mulai Ditinggalkan Petani Temanggung

Harganya Tak Menentu, Cengkeh Mulai Ditinggalkan Petani Temanggung

MAGELANGEKSPRES.COM,TEMANGGUNG – Tanaman cengkeh di Temanggung nasibnya hampir sama dengan dengan panili yang pernah menjadi primadona dan menjadi penghasilan menjanjikan bagi petani. Namun saat ini cengkeh rupanya sudah mulai ditinggalkan oleh petani. Alasannya karena harganya yang tidak menentu dan produksinya yang memakan waktu cukup lama. “Cengkeh masih ada, meskipun kuantitasnya tidak seperti dulu. Beda dengan panili, saat ini petani mulai kembali membudidayakannya karena mulai banyak permintaan panili,” kata Kabid Perkebunan Dinas Pertanian, dan Ketahanan PanganTemanggung Untung Prabowo, kemarin. Menurutnya, kedua komoditas ini pada era tahun 1980-1990 lalu menjadi tanaman yang sangat populer dikalangan petani. Namun seiring dengan perkembangan zaman, kedua tanaman ini sudah semakin tidak diminati oleh petani. “Di tahun-tahun itu, harga cengkeh dan panili cukup tinggi, produksinya juga cukup banyak. Ini zaman keemasan cengkeh dan panili,” ujarnya. Menurutnya, wilayah Kabupaten Temanggug khususnya di tujuh kecamatan yakni, Kecamatan Bejen, Candiroto, Wonoboyo, Tretep, Jumo, Gemawang, dan Kecamatan Kandangan, merupakan daerah yang sangat cocok untuk membudidayakan kedua tanaman tersebut. Sehingga diera tahun tersebut cengkeh dan panili dari daerah itu memiliki kualitas yang sangat bagus. “Kualitasnya tidak kalah dengan daerah penghasil panili dan cengkeh lainnya, bahkan permintaan kedua komoditas pertanian dari luar daerah cukup tinggi saat itu,” terangnya. Baca Juga DPRD Minta Pemkab Temanggung Siapkan Skema New Normal Diakuinya, untuk panili saat ini mulai dibudidayakan kembali, sebab nilai jual panili saat ini kembali bagus. Bahkan pola tanam yang diterpakan oleh petani saat ini lebih bagus jika dibandingkan dengan zaman dulu. \"Pemilihan bibit juga sduah diperhatikan, sudah ada yang mulai panen meskipun kapasitasnya belum banyak,\" katanya. Sedangkan untuk cengkeh lanjut Untung, saat ini masih banyak dijumpai di tujuh kecamatan tersebut, hanya saja produksinya sudah tidak lagi seperti tahun 1980-1990. Sebagian besar petani sudah mengganti tanaman cengkeh dengan tanaman kopi.Alasannya kopi lebih cepat berbuah, hanya butuh waktu tiga hingga empat tahun petani sudah bisa memetik hasilnya. “Tapi kalau cengkeh butuh waktu hingga delapan tahun,itupun produksinya belum banyak,” terangnya. Selain alasan tersebut, adanya kebijakan tata niaga cengkeh masa orde baru, kira-kira pada tahun 1992, yang mana penjualannya diatur BPPC (Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh), harga komoditi itu menjadi turun drastis. Sehingga produksinya pun ikut turun. “Pada saat itu petani lalu banyak mengganti tanaman itu dengan komoditi lainnya yang dianggap lebih menjanjikan oleh petani,” terangnya. Ia menambahkan, tanaman cengkeh yang masih tumbuh subur dan berbuah di wilayah tersebut, merupakan tanaman tua yang saat itu memang sengaja tidak diganti oleh petani. “Saat itu memang tidak seluruh tanaman cengkih diganti tanaman lain, ada yang tetap dibiarkan. Dan saat ini, yang masih berporduksi, kebanyakan adalah tanaman lama yang dahulu tetap dibiarkan tersebut,” terangnya. Untuk menjaga agar produktivitasnya tinggi, petani melakukan pemeliharaan intensif, dengan pemupukan dan pemberian obat-obatan pada tanaman cengkeh yang masih tersisa. Terpisah Wahyuningsih salah satu petani cengkeh di Desa Tlogopucang Kecamatan Kandangan menuturkan, harga cengkeh dari tahun ke tahun tidak pernah sama, berbeda dengan kopi yang harganya reltif stabil. “Sekarang untuk cengkeh basah antara Rp23 ribu hingga Rp25 ribu per kilogram, padahal pada tahun lalu harganya mencapai Rp30 ribu per kilogram. Kalau kopi kan harganya stabil untuk  biji kopi kering antara Rp22 ribu hingga Rp23 ribu per kilogram,” tuturnya. (set)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: