KPU Jangan Hanya Minta Anggaran
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Potensi abuse of power atau penyahgunaan kekuasaan oleh petahana sulit dibendung bahkan sulit membedakan antara pemberian bantuan sosial terkait mewabahnya Virus Corona (Covid-19) dalam pelanggaran Pilkada. Di sisi lain, penyelenggara khususnya KPU RI jangan hanya menaruh beban dengan meminta kecukupan anggaran sebesar Rp5 triliun. ”Merebaknya vote buying, money politics kemungkina besar terjadi. Bahkan kami pun sudah mengingatkan hal ini, jauh sebelumnya. Kami pun mengindikasi akan terjadi pelanggaran terhadap prosedur, tata cara pemungutan bahkan penghitungan suara. Sekali lagi kami bukannya pesimistis, kami tetap opitimisti dan ini bagian dari upaya mengingatkan penyelenggara,” terang Ketua Bawaslu RI Abhan, Rabu (10/6). Dalam proses pemetaan yang muncul, Bawaslu juga melihat adanya potensi partisipasi pemilih yang menurun termasuk pendistribusian logistik yang tidak maksimal. ”Masa pandemi ini pun penggunaan protokol kesehatan dalam kegiatan yang berkaitan dengan tahapan Pilkada harus memberikan jaminan rasa aman seluruh pihak yang terkait dalam penyelenggaraan,” jelasnya. Terlebih dengan terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi. Terpisah, Ketua Presidium Nasional Jaringan Demokrasi Indonesia (JADI) Juri Ardiantoro mengatakan, momentum Pilkada yang bakal dihelat 9 Desember mendatang, menjadikan penyelenggara menjadi agen kampanye New Normal. ”Ini momentum, kampanye kesehatan bisa dilaksanakan oleh penyelenggara, dengan menggandeng semua pihak,” terang Juri dalam web binar yang dilangsungkan bersama Kemendagri. Nah, persoalan kebutuhan anggaran, yang diminta oleh KPU RI sebesar Rp5 triliun menjadi hal yang wajar disampaikan. Tetapi sebaliknya, KPU juga mencari alternatif bagaimana menekan angka kebutuhan itu secaa efesien. ”Jadi cara pandang dan cara berfikirnya juga harus dirubah. Bagaimana kalau dibalik, dengan mencari cara anggaran lebih diperkecil di tengah kondisi saat ini. Jangan hanya membebankan APBN maupun APBD,” terangnya. Di lain sisi, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga mengingatkan pemerintah daerah lewat jajarannya di Dinas Komunikasi dan Informatika dan biro hubungan masyarakat bahwa komunikasi publik daerah bertujuan untuk menyukseskan Pilkada serentak 2020. Kepala Pusat Penerangan yang juga Pelaksana tugas Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar menegaskan mengatakan, dalam kondisi ini jangan sampai komunikasi publik daerah malah menjadi sarana kampanye petahana. ”Tolong diperhatikan, komunikasi publik benar-benar dalam kerangka menyukseskan pilkada, jangan sampai off-side. Penekanan ini pun menjaga ASN berdiri lurus dan independen,” tegasnya. Bahtiar mencontohan, salah pemanfaatan komunikasi publik daerah, seperti membuat sosialisasi dengan memasang foto kepala daerahnya, memasang selogan yang justru malah menjadi bagian dari tim sukses. ”Nah ini yang saya kira betul dijadikan perhatian,” terangnya. Dinas Komunikasi dan Informatika dan Biro Humas daerah harus memahami rambu-rambu sosialisasi dan narasi yang hendak dibuat, jangan sampai bentuk komunikasi publik yang dilakukan justru melanggar produk hukum yang berlaku. ”Dan mulailah membangun narasinya yang baik. Terus disinergikan (dengan penyelenggara pemilu), apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Ini penting sekali agar tidak memunculkan dugaan dan spekulasi negatif yang muncul,” kata Bahtiar. Selain dengan penyelenggara pemilu di tingkat daerah, koordinasi kata dia juga diperlukan dengan gugus tugas penanganan Covid-19 di daerah, forum koordinasi pimpinan daerah (forkopimda), aparat penegak hukum, dan pihak terkait lainnya. ”Dan agar ada narasi yang sama kita menyukseskan Pilkada serentak 2020 yang langsung, umum, bebas, rahasia, yang jujur dan adil, dan aman Covid-19,” imbuhnya. Sosialisasi pilkada tersebut perlu segera dimulai karena mengingat salah satu tolak ukur kesuksesan pesta demokrasi tersebut adalah soal tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. ”Dengan gencarnya sosialisasi dan komunikasi publik yang dilakukan, diharapkan mampu membangun persepsi optimisme pelaksanaan pilkada,” jelasnya. Untuk diketahui KPU RI mengkalkulasi kebutuhan anggaran tambahan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember sekitar Rp5 triliun. Kalkulasi ini dihitung dari penambahan TPS, dan KPPS sebagai upaya pengurangan risiko berkumpulnya pemilih di tengah kondisi bencana non alam (Covid-19). Pada posisi inilah Bawaslu menyebut, muncul malpraktik pelaksanaan hingga penurunan angka partisipasi publik. Ketua KPU RI Arief Budiman mengatakan, hitungan itu pun muncul disertai APD yang dibutuhkan bagi penyelenggara yang terlibat. Maka besaran anggaran yang ada butuh dukungan dari dari pemerintah daerah dan pusat. ”Jika sebelumya satu TPS 800 pemilih, maka Pilkda Desember mendatang, satu TPS hanya dibatasi 500 pemilih,” papar Arief dalam webinar yang diselenggarakan Jaringan Demokrasi Indonesia (JADI) Sulut, Selasa (9/6). Maka dengan waktu yang mulai mendekati tahapan 15 Juni, maka KPU berharap daerah segera memberlakukan laporan terkait ketersediaan anggaran. ”Ada satu hal yang akan didesain ulang yakni soal anggaran. Awalnya ini akan dibahas hari Kamis (11/6) dengan Kemenkeu dan jajaran, tapi harus tertunda sepertinya,” ungkapnya. Saat ini, sambung Arief, KPU sedang menyusun Rancangan Peraturan KPU tentang Pilkada dalam kondisi bencana nonalam dengan mendasarkan pada dua hal. Pertama Kepres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19. Kedua melaksanakan ketentuan Pasal 122A ayat (3) Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada Menjadi UndangUndang yang menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan waktu pelaksanaan Pemilihan serentak lanjutan diatur dalam Peraturan KPU. ”Selain prosedur untuk setiap tahapan Pemilihan, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota melakukan prosedur tambahan yang mengatur mengenai kegiatan bertatap muka secara langsung atau yang menimbulkan kontak fisik secara langsung antara penyelenggara pemilihan dengan pemilih,” paparnya. (fin/ful)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: