Laku Sikramat Buka Sejarah Desa
500 Tenong Nasi Golong Dihidangkan MAGELANGEKSPRES.COM, WONOSOBO – Desa Pagerejo di Kecamatan Kertek yang kini memiliki beberapa dusun, ternyata dahulunya ialah tiga desa yang digabung menjadi satu desa. Hal itu terungkap saat pembacaan silsilah desa oleh mantan Kades Pagerejo Udi Wahyu SE di rangkaian Ruwatan Laku Sikramat di makam leluhur desa kemarin pagi (14/6). Dikatakan Udi, dahulu sebelum tahun 1922, Desa Pagerejo merupakan tiga desa yang berbeda. Yakni, Pagerotan, Pagersampang, dan Cangkringan. Laku Sikramat yang selalu digelar Jumat Kliwon itu, kali ini mengundang para pejabat pemkab, termasuk Wakil Bupati Agus Subagyo, ka Dinas Pariwisata dan beberapa camat sekaligus membuka rangkaian Java Balloon Festival, Sabtu (15/6). “Waktu itu, Belanda mensyaratkan bahwa seorang kepala desa harus bisa bahasa tulis dan akhirnya dipilihlah Raden Ranu Prawira sebagai kades pertama di era Belanda itu. Maka sejak tahun 1922 itu, usia desa ini sudah 96 tahun dan sejak itu nyadran laku Sikramat ini sudah dilaksanakan,” ungkap Udi. Rangkaian acara nyadran laku di makam Sikramat diawali dengan arak-arakan tenong dengan iringan musik ala tentara keraton dan kesenian jaran kepang dari masjid pagerotan. Setelah semua peserta duduk di area tanah lapang Sikramat, para pejabat membuka acara dilanjutkan dengan doa bersama. Seluruh warga Dusun Pagerotan sejak waktu itu diwajibkan mengikuti laku sikramat yang dihelat 70 hari sekali. “Sejak dulu isinya sama seperti ini, ada nasi bucu dan empat nasi golong (dibentuk bulat) dengan lauk berupa udang goreng, serundeng, sayur, dan lodeh mi. Tapi, kadang ada juga yang menambahkan telur atau ayam. Kalau menurut ketentuan, minimal 15 kepala keluarga di Dusun Pagerotan yang wajib mengirim tiap 70 hari sekali,” imbuhnya. Sebelum dikenal sebagai Dusun Pagerotan, awalnya juga diketahui sejarah padukuhan Dawuhan dan diawali Raden Joko Suro atau Joko Anom atau pangeran Sundara yang menancapkan tongkat di sendang Surodilogo. Mata air yang hingga kini mengalir di dusun tersebut. Menurut cerita warga, tuk tersebut berkaitan dengan peperangan. “Suro artinya wani, dilogo artinya perang. Sebelum perang para prajurit siraman di sendang itu. Lalu ke dawuhan tapi sebelumnya Raden Sundoro tancapkan tongkat rotan lalu jadilah Pagerotan. Tetapi sisa tanaman rotan terakhir sudah hilang, hanya ada bekas tempatnya yang dibuat semacam monument di tengah dusun,” tutur Mugiyanto, pemilik rumah di depan bekas tanaman rotan. Di era peperangan melawan belanda, makam Sikramat juga dikenal sebagai tempat perundingan strategi para pemimpin. Bahkan ada kisah asal usul makam Joko Suro di makam Sikramat. Hal itu terkait dengan perencanan perang besar atau perang gong atau Pranggong. “Jadi ini adalah tempat musyawarah penyimpanan senjata kramat dan makam pembesar dari kraton. Harapan kami, budaya ini bisa tetap lestari dan turun temurun. Juga sebagai atraksi wisata budaya Pagerotan, Pagerejo,” ungkap Udi. (win)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: