Pastikan Puncak COVID-19

Pastikan Puncak COVID-19

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - DPR RI meminta pemerintah membuat rumusan dan validasi prediksi puncak virus Corona (COVID-19) secara lebih komprehensif. Pasalnya, prakiraan yang selama ini dikeluarkan oleh beberapa lembaga berbeda-beda. Hal ini dinilai membingungkan publik. Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengatakan, pemerintah perlu merumuskan ulang prakiraan tersebut untuk mendapatkan hasil prediksi puncak COVID-19 yang lebih akurat dan terpercaya. Sebelumnya beberapa lembaga seperti BIN, UI, ITB, Unbraw, UGM, LBM Eijkman melakukan berbagai riset pemodelan untuk memprediksi puncak COVID-19. Karena menggunakan metode dan input data yang berbeda, maka hasil prediksinya pun berbeda pula. “Menkeu Sri Mulyani menggunakan hasil dari BIN, UI dan UGM, yang memprediksi puncak COVID-19 terjadi di akhir Mei 2020. Patokan ini untuk menetapkan realokasi APBN 2020 dan kebijakan fiskal dan non-fiskal lainnya,” ujar Mulyanto di Jakarta, Senin (20/4). Idealnya, pemerintah dalam hal ini Bappenas dan Kemenristek/BRIN segera menajamkan, merumuskan dan memvalidasi hasil-hasil riset pemodelan COVID-19 tersebut secara lebih komprehensif. “Gunakan metodologi pemodelan yang standar, parameter yang lengkap dandata input yang akurat. Agar prediksi puncak COVID-19 yang dihasilkan lebih terpercaya dan dapat menjadi acuan secara nasional,” papar Mulyanto. Dia mengingatkan sudah semestinya setiap kebijakan Pemerintah ditetapkan berdasar hasil kajian yang komprehensif dan akurat. Dengan demikian kebijakan tersebut memiliki basis empirik yang kokoh dan dapat dipertanggungjawabkan. Mulyanto menyimpulkan, Indonesia punya peluang untuk menyelesaikan pandemi ini dalam waktu lebih singkat. Syaratnya, pemerintah melakukan uji cepat massif kepada masyarakat. Selain itu, tegas dalam pemberlakukan isolasi kepada mereka yang positif COVID-19. Termasuk pelarangan mudik lebaran. Serta peningkatan kuantitas dan kualitas penanganan pasien COVID-19. Kartu Prakerja Disorot Terpisah, Wakil Ketua Fraksi PKS Sukamta menyoroti Kartu Prakerja yang digulirkan pemerintah. Ada anggaran Rp56 triliun digelontorkan untuk program ini. Dia menyatakan, kartu pra kerja ini bisa pahami adalah janji Presiden Jokowi dalam kampanye Pilpres 2019 lalu. Harapannya, tentu ini bisa dikelola dengan kemanfaatan yang maksimal dan bisa dirasakan oleh anak anak bangsa yang baru lulus dan akan mencari kerja. \"Apalagi di masa pandemi sekarang ini. Semua serba sulit. PHK dimana mana, ekonomi berhenti. Bagi-bagi uang tunai kepada rakyat seperti ini, mungkin bisa mengurangi ketegangan sosial,\" ujar Sukamta di Jakarta, Senin (20/4). Namun, sekarang ini seperti ada pembelokan. Sehingga tidak semua uang dibagi kepada rakyat pencari kerja. Tetapi Rp1 juta ditahan dan langsung dialokasikan untuk pelatihan digital. Konsep seperti ini terlihat tidak sensitif terhadap kesulitan rakyat di tengah pandemi COVID-19. Anggota Banggar DPR ini menjelaskan jika dilihat dari isi pelatihan yang berharga Rp1 juta per orang, sebenarnya hal itu bukanlah pelatihan. Karena hanya download bahan saja. Harga bahan sampai Rp1 juta per orang. “Kalau diakses 3,5 juta orang kan sudah Rp 3,5 trilliun harga mendownload materi itu. Kalau modal materi dan pelaksanaannya, proyek ini paling besar bernilai beberapa ratus miliar rupiah saja. Nggak sampai Rp5,6 trilliun,” terangnya. Menurutnya, materi pelatihan seharrusnya sesuai dengan harga yang wajar. Apalagi, bahan- bahannya bisa ditemukan di internet secara gratis. \"Tidak ada yang istimewa sekali. Apalagi kalau sudah download tidak ada jaminan bisa diterima kerja atau membuat pekerjaan. Kemungkinan akan kembali menganggur,\" ucapnya. Dikatakan, konsep itu tidak memberi solusi bagi masalah yang disasarnya. Yakni soal pengangguran. Jika ingin membuat pelatihan kerja, maka yang diberikan adalah keterampilan yang bisa diterapkan sesuai kebutuhan dan keuangan secara rasional. Sehingga bisa melibatkan lebih banyak orang. \"Ada kesan kuat di masyarakat bahwa ini seperti bagi-bagi uang kepada vendor perusahaan digital yang sebenarnya juga sudah untung dengan peningkatan penggunaan aplikasi mereka. Ini sebagai dampak kebijakan semua serba dilakukan dari rumah. Hampir semua orang sekarang menggunakan aplikasi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,\" pungkasnya. (khf/fin/rh)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: