Pilkada Didorong 2021
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Spekulasi penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) hingga 2021 terus mengemuka. Ini terjadi setelah merebaknya Virus Corona (Covid-19) dan pemulihan sendi ekonomi bangsa. Problem lainnya, KPU Pusat dan Daerah pun belum siap jika dipaksakan, baik dari sisi kesiapan personel, logistik sampai anggaran APBD yang secara tidak langsung terimbas. Meski pun Menteri Dalam Tito Karnavian meminta anggaran tahapan Pilkada 2020 jangan langsung dialihkan untuk penanganan wabah yang telah menyebabkan 469 orang meninggal dunia. Ya, tidak hanya elemen masyarakat, sejumlah pemerhati politik bahkan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR) merekomendasikan sebaiknya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak diselenggarakan pada 2021, bukan 9 Desember 2020. ”Kalau kesepakatan kemarin (Pilkada 9 Desember 2020) seperti kesepakatan ragu-ragu. Maka, kami meremokemdasikan sebaiknya pilkada dilanjutkan pada tahun 2021 dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah fokus menangani pada Covid-19,” terang Koordinator Nasional JPRR Alwan Ola Riantoby, Rabu (15/4). Pemilihan dengan opsi 9 Desember 2020 belum tegas karena pemerintah masih akan melihat perkembangan hingga akhir Mei 2020. Artinya, jika Covid-19 belum teratasi, pilkada akan digelar pada tahun 2021. Saat ini wabah Covid-19 masih terus berkembang dan belum diketahui kapan berakhirnya, sementara penyelenggaraan Pilkada 2020, tentu melibatkan banyak pihak. ”Ini yang menyebabkan persoalan jika dipaksakan digelar pada tahun 2020. Menurut dia, jumlah data penduduk potensial pemilih pemilu atau DP4 dalam Pilkada 2020 sebanyak 105.39 juta pemilih,” jelasnya. Jika melihat data pada Pilkada 2015 terdapat 838 pasangan calon dengan jumlah TPS sebanyak 237.790 unit, sedangkan penyelenggara ad hoc PPK berjumlah 10.337, PPS 131.886, dan KPPS 1.664.530. ”Tentu saja dalam kondisi pandemi seperti ini, sangat riskan karena Pilkada 2020 melibatkan banyak pihak, itu yang perlu diperhatikan,” katanya. Nah, selain soal penundaan pilkada, JPRR juga mengingatkan di saat tren Covid-19 ini pihak yang memiliki kewenangan mesti memikirkan solusi tentang kekosangan kepemimpinan di daerah. Jika menggunakan pejabat sementara, lanjut dia, kewenangannya tentu sangat terbatas. ”Ya kalau lainnya, perlu adanya kesepakatan bersama antara KPU, Bawaslu, dan Pemerintah untuk membuat road map pilkada terbaik pada tahun 2020, apakah melanjutkan tahapan atau memulai tahapan baru dan kapan tahapan akan dimulai. Hal tersbut harus dijelaskan ke publik,” beber Alwan. Berikutnya, aspek pendidikan pemilih, lanjut dia, juga menjadi penting untuk terus dibangun dalam upaya membangun partisipasi masyarakat pemilih di tengah wabah Covid-19. ”Kerja sama dengan civil society (lembaga pemantau) menjadi sangat dibutuhkan, relasi state (negara) dan civil siciety harus terus dibangun. Civil society yang aktif akan membangunkan solidaritas sosial yang kolektif,” imbuh dia. Sementara itu, Menteri Dalam Tito Karnavian meminta anggaran tahapan Pilkada 2020 jangan langsung dialihkan untuk penanganan Covid-19. ”Mohon bisa ditekan mungkin dalam rapat ini bahwa anggaran (penanganan Covid-19) tersebut sebaiknya dibekukan (freeze) dulu,” kata Mendagri. Tito mengatakan anggaran penanganan Covid-19 sudah disiapkan pemerintah, kurang lebih sebesar Rp405 triliun sebagai dana stimulus dan Rp110 triliun sebagai social safety net. Kemudian, Tito juga mengarahkan pemerintah daerah bersama Menteri Keuangan untuk mengumpulkan dana alokasi untuk penanganan Covid-19. ”Tentu saja ini di (pemerintah) daerah, bukan di kami. Sementara baru teralokasi Rp55 triliun, tapi lagi kami tekan (push) terus. Jadi mengenai masalah anggaran tadi kembali, sudah ada alokasi untuk itu,” tutur Tito. Memang, kata Tito, ada tiga kepala daerah yang lambat mengalokasikan dana karena kekhawatiran masalah hukum. Untuk mengatasi itu, Tito telah memberikan penjelasan lewat video telekonferensi kepada seluruh Kepala Daerah bersama Ketua KPK, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kepolisian Republik Indonesia, dan Kejaksaan RI. ”BPK, LKPP, BPKP, Polri, dan Kejaksaan RI siap melakukan pendampingan dalam situasi krisis saat ini untuk memperketat pengawasan. Ketua KPK juga sudah mengatakan akan menindak tegas apabila ada yang melakukan penyimpangan. Saya rasa Ketua KPK juga sudah tegas sekali,” ungkap Tito. Karena itu, khusus untuk anggaran Pilkada, Tito berpendapat sebaiknya disimpan saja dulu sehingga ketika situasi ternyata membaik, dan Pilkada tetap bisa dilaksanakan, maka anggarannya tidak kurang. Namun, apabila situasi keuangan Republik Indonesia di tahun 2021 masih belum pulih dan ada permasalahan-permasalahan anggaran, maka anggaran Pilkada 2020 bisa siap diluncurkan untuk membantu pemulihan situasi keuangan tersebut. ”Kalau ternyata, misalnya, ada problema yang kita tidak tahu, anggaran itu ternyata mungkin kurang di daerah-daerah terdampak, kita bisa gunakan dana Pilkada ini untuk dijadikan dana cadangan, tapi jangan dulu sekarang dialihkan. Karena saat ini, dananya sudah ada pengalokasian dari pos-pos yang lain,” ucap Tito seraya berharapusulannya itu bisa dimasukkan ke dalam kesimpulan rapat kerja virtual yang membahas tindak lanjut penundaan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 hasil Raker Komisi II DPR RI pada 30 Maret lalu. Kapuspen Kemendagri Bahtiar mengatakan, Mendagri, menyetujui penundaan yang diusulkan oleh KPU atas Pilkada serentak 2020, yang seharusnya dilaksanakan pada 23 September 2020. Penundaan ini disebabkan oleh adanya masalah wabah Covid19 yang menyebabkan KPU menunda 4 tahapan penyelenggaran Pilkada serentak 2019 yang kemudian berakibat pada penundaan tahapan-tahapan selanjutnya. KPU mengusulkan tiga opsi jadwal penundaan Plkada serentak 2020, yaitu opsi 1 yaitu opsi optimis tanggal 9 Desember 2020, Opsi 2, yaitu tanggal 1 April 2021 dan Opsi 3 yaitu September 2021. ”Terhadap opsi ini, Mendagri menyetujui opsi usulan KPU yaitu 9 Desember 2020. Opsi ini merupakan opsi optimis karena telah tersedianya anggaran Pilkada serentak 2020 untuk tahun anggaran 2020 pada APBD 270 daerah yang akan pilkada. Dengan demikian anggaran Pilkada 2020 tetap pada posisi saat ini dan tak ada realokasi,” jelasnya. Disamping itu, tenggat waktu tanggap darurat Covid 19 yang ditentukan oleh Gugus Tugas Pusat Covid-19 adalah hingga tanggal 29 Mei 2020. Artinya, dengan harapan bahwa masalah covid ini akan selesai sesuai tenggat waktu masa tanggap darurat tersebut, sehinga pelaksanaan sisa tahapan Pilkada yang belum tuntas dan yang dilaksanakan dapat dilanjutkan kembali oleh KPU. ”Sikap kemendagri tersebut sesuai dengan tiga opsi yang KPU ditawarkan itu, tentu kita memilih opsi yang terbaik bagi semuanya. Kita bisa mengambil opsi optimis, yakni Pilkada digelar pada bulan Desember 2020, dengan harapan situasi Covid-19 ini sudah selesai,” katanya. Jika masa tanggap darurat Covid-19 yang telah ditetapkan oleh Gugus Tugas Pusat tanggal 29 Mei 2020 telah selesai, akan dilaksanakan rapat kembali penyelenggara pemilu, DPR dengan Pemerintah. Dan, semua peserta raker sepakat bahwa yang menjadi patokannya adalah ketika pandemi Covid-19 dinyatakan sudah selesai oleh pemerintah maka sisa tahapan pilkada serentak bisa dilanjutkan. ”Kalau tidak bisa (digelar pada 2020) maka pada 2021, tapi harus ada kesepakatan antara penyelenggara Pemilu, pemerintah dan DPR. Jadi di akhir masa tanggap darurat Covid-19 atau setelah tanggal 29 Mei 2020, harus ada pertemuan lagi,” ujarnya. Lebih lanjut Bahtiar menjelaskan bahwa, Kemudian terkait hasil kesimpulan Rapat pada poin kedua, yaitu dengan Berdasarkan Putusan MK Nomor: 55/PUU-XII/2019 dan evaluasi terhadap keserentakan Pemilu pada Tahun 2019, Komisi II DPR RI mengusulkan agar pelaksanaan Pilkada kembali disesuaikan dengan masa jabatan satu Periode lima Tahun, yaitu di 2020, 2022, 2023, 2025 dan seterusnya yang nantinya menjadi bagian dalam Revisi Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016 untuk masuk ke dalam Perppu, sampai saat ini Pemerintah belum berpendapat apapun. Karena putusan MK tersebut berkaitan langsung dengan substansi UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemlilu. Putusan MK tersebut berimplikasi kepada desain pemilu dan pilkada secara lengkap, sehingga tak bisa serta merta hanya mengubah keserentakan Pilkada. ”Sehingga substansi tersebut lebih tepat menjadi materi simplikasi UU Pemilu yang juga masuk dalam prolegnas 2020. Opsi-opsi keserentakan dalam putusan ada lima opsi dan bahkan terbuka opsi lainnya sepanjang masih sejalan dengan putusan MK, sehingga materi tersebut harus dilakukam simulasi secara tepat dan terukur terkait masa depan desain pemilu di Indonesia,” jelasnya. (fin/ful)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: