Profesor Doktor
Oleh: Dahlan Iskan
SAYA sungkan menuliskan ini. Tapi, saya lebih sungkan mengaku punya hobi makan durian. Ketularan istri saya. Tapi aneh. Kok tiba-tiba ada yang mempersoalkan gelar saya itu. Kesannya, saya itu begitu bangga dengan gelar profesor dan doktor honoris causa itu. Saya setuju dengan Pry. Yang berkomentar di forum ini kemarin: gelar profesor itu hanya bisa digunakan di lingkungan akademik. Saya sendiri sering menertawakan —dalam hati— orang yang membawa gelar itu ke tempat sembarangan. Rasanya saya sudah cukup hati-hati: tidak pernah menggunakan dua gelar itu di depan nama saya. Tidak pula di kartu nama. Atau di cover buku yang saya tulis. Atau di naskah apa pun. Tentu, kalau mau, saya sudah bisa menerima gelar seperti itu jauh sebelum menjadi sesuatu. Banyak yang menawarkan. Saya selalu menolak. Tidak pantas. Saya ini lulus S-1 pun tidak. Saya lebih bangga dengan jabatan CEO. Apalagi seorang tamatan madrasah Aliyah bisa menjadi CEO perusahaan besar. Rasanya juga baru sekali terjadi lulusan Madrasah Aliyah menjadi dirut PLN. Lalu jadi menteri ekonomi —Menteri BUMN. Tapi bagaimana ceritanya hingga bisa menerima gelar profesor HC? Tawaran itu datang dari sebuah universitas beneran di Malaysia. Begitu seriusnya sampai para pimpinan universitas itu sendiri yang datang ke Jakarta. Termasuk putra mahkota sultan dari negara bagian itu —yang juga pimpinan universitas. Saya masih ingat, sedikit, acara hari itu. Pembawa acara pun dari sana. Susunan acaranya juga sudah ditentukan di sana. Pakai bahasa sana: paduka, hamba, tuanku, patik, ampun paduka dan banyak istilah kerajaan lainnya. Sejak itu pun saya seperti lupa kalau pernah mendapat gelar profesor honoris causa. Saya tidak pernah satu kali pun menggunakan gelar itu di depan nama saya. Emangnya saya ini siapa: hanya lulusan madrasah Aliyah. Itu pun di sebuah desa di pelosok Magetan: Pesantren Sabilil Muttaqin. Yakni pesantren beraliran tarekat Syatariyah. Memang, ada pihak lain yang menulis gelar itu di depan nama saya. Sedapat mungkin saya minta: jangan cantumkan gelar itu. Tapi ada saja yang posternya sudah telanjur beredar. Tapi jangan-jangan saya yang lupa. Atau pura-pura lupa. Jangan-jangan saya pernah memakainya. Baik juga, kalau ada yang menemukan itu. Agar saya ingat. Pun di dalam kampus. Ketika saya diminta memberikan seminar. Sering dicantumkan gelar itu. Saya sedapat mungkin memberikan koreksi: gak usah cantumkan gelar itu. Tapi tidak semuanya berhasil saya lakukan. Saya juga tidak mau konfrontasi: masak soal gitu saja bikin penyelenggara merasa kurang enak. Lebih banyak lagi yang menawari gelar kehormatan doktor. Hanya satu yang saya terima. Yang dari dalam negeri. Yakni ketika tawaran itu datang dari IAIN Walisongo Semarang. Itu pun karena dirayu beberapa orang dekat untuk menerimanya. Dan lagi tawaran itu kan datang dari IAIN. Masih agak liniar\\\'\\\' hahaha. Tapi yang membuat saya tertarik adalah naskah pertanggungan jawab dari promotor gelar itu. Sangat akademik. Yang menyusun adalah Prof Dr Nur Syam. Beliaulah promotor gelar itu. Belakangan saya tahu beliau orang Tuban. Di sana pula beliau lulus PGAN (sekolah pendidikan guru agama negeri). Lalu S-1 di fakultas dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Meski orang IAIN, Prof Nur Syam memperoleh gelar doktor dari Fisipol Universitas Airlangga. Di Unair pula beliau memperoleh gelar profesor. Lalu balik lagi ke IAIN. Bahkan belakangan terpilih sebagai rektor di UIN Sunan Ampel. Belum lagi menyelesaikan jabatan rektor beliau diangkat menjadi dirjen Pendidikan Islam. Lalu berlanjut menjabat sekjen Kementerian Agama. Rasanya, saat menjadi promotor saya itu beliau dalam posisi sebagai sekjen itu. Sejak hari itu sebenarnya saya mendapat gelar itu. Tapi sejak itu pula saya tidak pernah menggunakannya. Saya tahu: itu gelar kehormatan. Bukan gelar doktor sungguhan —yang diperoleh lewat kerja penelitian serius yang metodologis sistematis. Saya memang seide dengan Prof Nur Syam: moderat dalam beragama. Dan ternyata beliau punya rumah di dekat rumah saya. Satu kompleks: Sakura Regency. Berarti satu kompleks juga dengan KSAL Laksamana Yudo Margono —hanya selisih dua rumah dari saya. Profesor (sungguhan) Nur Syam sudah bukan pejabat tinggi lagi. Tapi produktivitasnya kian tinggi. Terutama dalam menulis buku. Kemarin, saya dikirimi buku beliau yang baru lagi: Perjalanan Etnografis Spiritual. Bahkan beliau mendirikan kelompok studi Islam moderat: Nursyam Center dan School of Friendly Leadership. Saya tahu: banyak pihak di luar saya yang mencantumkan gelar itu di depan nama saya. Sebagian bisa saya cegah. Sebagian lagi tidak. Pun ketika saya mendapat gelar doktor HC dari sebuah universitas Katolik di Manila, Filipina. Dengan upacara yang anggun di kampus itu. Saya jadi tahu begitulah tata cara di sana. Saya juga tidak pernah menggunakannya. Apalagi sekarang saya sudah 70 tahun. Juga tidak lagi punya kartu nama. Tapi sesekali ingin juga saya menulis naskah di Disway ini dengan judul John & John, oleh Prof HC Dr HC Dahlan Iskan. Sekadar memancing emosi Pry hahaha. (Dahlan Iskan)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: