Yang Bolehkan Eks Koruptor MK, Bukan DPR
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Fraksi Partai Golkar DPR RI setuju UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada direvisi. Namun, larangan eks narapidana korupsi ikut pilkada tidak perlu dimasukkan. Alasannya, aturan itu diperbolehkan melalui putusan MK (Mahkamah Konstitusi), bukan DPR sebagai pembuat UU. \"Kalau mau melarang eks napi korupsi mencalonkan diri dalam Pilkada, memang harus melalui UU. Tetapi, untuk apa. Itu kan diperbolehkan atas lewat putusan MK,\" ujar anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, di Jakarta, Senin (25/11). Menurutnya, sejak awal DPR sebagai pembuat UU tidak memperbolehkan mantan napi korupsi maju Pilkada. Namun, putusan MK justru memperbolehkan. Asal mengumumkan statusnya kepada publik. Dia mengingatkan Pasal 28 UUD 1945 mengatakan pembatasan hak seseorang hanya boleh diatur berdasarkan UU. Sehingga KPU tidak berhak melarang napi korupsi maju Pilkada hanya dengan Peraturan KPU (PKPU). \"Di UU Pilkada saat ini berdasarkan Putusan MK, tinggal mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan napi kasus korupsi,\" paparnya. Baca Juga Pengendara Motor di Magelang Ditemukan Tewas Hanyut di Sungai Manggis Zulfikar menyebut, partainya mengusulkan dua poin dalam revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pertama penguatan fungsi pengawasan dan penindakan Pilkada yang ada di Bawaslu kabupaten/kota. Dalam UU Pilkada, fungsi tersebut dijalankan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Tetapi dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu tidak memiliki kewenangan tersebut. \"Ini harus direvisi UU Pilkada agar pengawas Pilkada di kabupaten/kota adalah Bawaslu kabupaten/kota. Karena di UU Pemilu, Bawaslu kabupaten/kota mereka tidak punya kewenangan. Namun kewenangan tersebut ada di Panwaslu sesuai UU Pilkada,\" imbuhnya. Kedua, dalam UU Pilkada dinyatakan penggunaan suket (Surat Keterangan) paling lambat tahun 2018. Namun sampai saat ini masih banyak KTP Elektronik belum terpenuhi 100 persen. Suket, lanjutnya, harus dipastikan bisa digunakan. Agar tidak menjadi persoalan ke kemudian hari. Terutama untuk seorang memilih dan syarat dukungan calon perseorangan. \"Sehingga harus ada revisi UU Pilkada. Kami ingin suket masih bisa digunakan untuk syarat memilih dan calon perseorangan,\" paparnya. Zulfikar menginginkan agar revisi UU Pilkada bisa digunakan dalam Pilkada 2020. Tujuannya agar ada kepastian Bawaslu dalam kerja mengawasi jalannya Pilkada. Menanggapi hal itu, Komisioner KPU RI, Evi Novida Ginting Manik mengatakan pelarangan mantan koruptor maju dalam Pilkada 2020 karena belajar dari kasus di Tulungagung dan Kudus. \"Kasus di Kudus, mantan napi koruptor kemudian terpilih dan tertangkap lagi. Apalagi yang di Tulungagung. Orangnya masih dalam penjara. Tetapi dia terpilih dan menang. Kemudian yang menjalankan tugas sebagai kepala daerah bukan dia,\" kata Evi di Jakarta, Senin (25/11). Menurut Evi, tanpa larangan yang mengatur, pelaku korupsi dan kasus amoral lainnya bisa saja terpilih seperti di Tulungagung dan Kudus. Karena itu, KPU mencoba memberikan pilihan-pilihan kepada pemilih. Yaitu calon yang bebas dari rekam jejak buru. Caranya membatasi persyaratan calon. \"Kita mencoba memberikan pilihan yang baik. Bukan mereka yang melakukan pelecehan seksual anak, bandar narkoba dan mantan koruptor,\" jelasnya. Harapannya sosok atas larangan tersebut yang terpilih nanti merupakan pemimpin baik, bermoral dan tidak berperilaku korup. Sebab, di tangan kepala daerahlah kunci keberhasilan pelayanan publik. Seperti diketahui, Bupati Kudus Muhammad Tamzil terjerat kasus korupsi untuk kedua kalinya. Dia terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada Juli 2019 lalu. Tamzil diduga menerima suap terkait jual-beli jabatan di Pemerintahan Kabupaten Kudus. Sebelumnya, ketika menjadi Bupati Kudus periode 2003-2008, Tamzil didakwa korupsi dana bantuan sarana prasarana pendidikan Tahun Anggaran 2004 oleh kejaksaan negeri Kudus. Setelah bebas, Tamzil kembali mencalonkan diri pada Pilkada 2018. Dia terpilih kembali menjadi Bupati Kudus sampai akhirnya pada Juli 2019 ditangkap oleh KPK.(rh/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: