Lestarikan Tradisi, Masyarakat Adat Nusantara di Magelang Gelar Kirab Suran Pepunden Dipanegaran Jelang HUT RI

Lestarikan Tradisi, Masyarakat Adat Nusantara di Magelang Gelar Kirab Suran Pepunden Dipanegaran Jelang HUT RI

KIRAB. Perjalanan kaki dilakukan dari Omah Mbudur ke makam leluhur yakni Eyang Suro Dipo, Eyang Singo Dipo dan Eyang Suro Dikoro desa Jowahan Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang.-Heni Agusningtiyas-Magelang Ekspres

BOROBUDUR, MAGELANGEKSPRES - Memeriahkan HUT RI ke-79 Masyarakat Adat Nusantara (MATRA) bersama keturunan Pangeran Diponegoro menggelar kirab Umbul Donga di wilayah Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang, Minggu (4/8) di Borobudur.

Ritual Suran Haul Pepunden (leluhur) Borobudur diawali dengan kirab oleh Mangkualam, Masyarakat Adat  Brayat Ageng Sentono, MATRA, Diponegaran,  Brayat Senja Kadang dan pelaku seni budaya Omah Mbudur dan warga masyarakat setempat.

Mereka berjalan kaki dari Omah Mbudur ke makam leluhur yakni Eyang Suro Dipo, Eyang Singo Dipo dan Eyang Suro Dikoro Desa Jowahan Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang.

BACA JUGA:800 Offroader se-Jateng Ikuti Trabas Kamtibmas di Magelang

Budayawan MATRA Brayat Senja Kadang Omah Mbudur, Nuryanto mengatakan, prosesi itu sebagai Puja Bakti (ziarah) ini kepada leluhur Eyang Suro Dipo yang bertepatan pada bulan Suro Penanggalan Jawa dan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Nuryanto menjelaskan dalam sejarah, Eyang Suro Dipo merupakan prajurit Pangeran Diponegoro yang gugur saat agresi melawan belanda.

Saat itu, darahnya tercecer dan dikumpulkan  dengan daun pohon awar awar yang kemudian turut dimakamkan bersama jasad beliau di Jowahan. Sehingga Eyang Suro Dipo juga dijuluki Kyai Jugil Awar Awar.

“Ini tanda bukti bahwa kita mencintai para leluhur, para pendahulu para pejuang yang rela berkorban (luntah ludiro) untuk kemerdekaan Bangsa Indonesia,” kata Nuryanto Minggu, kemarin.

Lirih lantunan langgam Jawa mengiringi kirab sejauh satu kilometer tersebut. Dalam gelar budaya yang dihadiri Bunda Gusti Angling Kusumo Mangkualaman ini semua peserta menggenakan pakaian jawa, lurik, surjan, dan kebaya.

BACA JUGA:Tetap Berkarya di Usia Senja, Puluhan Ibu-Ibu Ikuti Festival Lomba Hadroh Magelang 2024

Bunda Gusti Angling Kusumo Mangkualaman merupakan pendiri Masyarakat Adat Nusantara atau MATRA yakni sebuah gerakan bersama dalam upaya pelestarian budaya tradisi nusantara.

Sementara itu di lokasi makam pepunden, digelar prosesi kidung Puja Bakti dan Umbul Donga yakni membacakan doa dengan khidmat bersama asap wewangian. Doa puja dipimpin sesepuh desa yang diikuti semua warga Matra.

Dijelaskan Nuryanto, keberadaan Eyang Suro Dipo, Eyang Singo Dipo dan Eyang Suro Dikoro, menjadi rangkaian sejarah yang sempat terlupakan.

Dimana setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda di Residen Kedu yang kini menjadi Kantor Bakorwil Kota Magelang semua garis keturunan tidak ada lagi memakai nama Dipo karena akan diburu oleh Belanda. Sehingga para pejuang memilih mengganti nama seperti Suro Dipo Suro Dikoro dan lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: magelang ekspres