Ketika Review Digital Jadi Ujian Etika Bisnis Modern, Rating 5 Bintang Fasilitas 2 Bintang
Yuspin Simon Belopawa, Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta-DOK-MAGELANG EKSPRES
DI era digital yang melaju secepat kedipan mata, reputasi bisnis kini ditentukan bukan oleh omongan orang, tapi oleh sentuhan jempol di layar. Sekali klik bisa mengangkat nama sebuah usaha setinggi langit, namun satu keluhan bisa menjatuhkannya ke dasar dalam hitungan detik.
Review online dan rating bintang lima kini menjadi “mata uang” baru dalam dunia bisnis tapi layaknya uang palsu, nilainya bisa dimanipulasi dengan mudah.
Baru-baru ini, publik digegerkan oleh kasus hotel dan penginapan dengan rating sempurna di platform pemesanan online, tapi kenyataannya jauh dari harapan. Tamu mengeluh air panas mati, kamar berdebu, pelayanan lesu, dan fasilitas tak sesuai deskripsi.
BACA JUGA:The Green Illusion in Indonesian Business
Ironisnya, di kolom ulasan, masih terpampang sederet komentar positif yang seolah meninabobokan calon pelanggan. Di balik layar, praktik “curang tapi legal” beroperasi: review palsu, komentar pesanan, atau promosi terselubung dari pihak internal. Inilah potret nyata etika bisnis modern yang mulai terkikis di dunia digital.
Fenomena ini menimbulkan dilema etika serius. Platform digital berperan sebagai penghubung antara konsumen dan penyedia jasa, tapi ketika sistem review disalahgunakan, siapa yang harus memikul tanggung jawab?
Apakah platform yang gagal memverifikasi ulasan, pelaku bisnis yang menipu publik, atau justru konsumen yang terlalu percaya pada bintang tanpa melakukan riset lebih jauh? Dalam ekonomi berbagi yang serba algoritmik, garis batas antara kejujuran dan manipulasi semakin kabur.
BACA JUGA:Filantropi vs Eksploitasi: Dilema Etika di Balik Citra CSR Korporasi
Bagi banyak pelaku usaha kecil, rating tinggi bukan sekadar gengsi tetapi itu tiket bertahan hidup. Sistem platform sering menghukum mereka yang mendapat rating rendah dengan menurunkan visibilitas di hasil pencarian.
Akibatnya, sebagian memilih jalan pintas: membeli ulasan palsu, meminta teman menulis testimoni, atau mempercantik tampilan dengan foto hasil editan. Namun, semua itu hanyalah ilusi sementara. Keuntungan yang tampak cepat justru bisa jadi racun jangka panjang yang menghancurkan kepercayaan.
Etika bisnis yang sejati menuntut keberanian untuk jujur. Review pelanggan seharusnya menjadi cermin transparansi, bukan arena pencitraan palsu. Sekali kepercayaan publik hilang, tak ada jumlah bintang yang bisa mengembalikannya.
BACA JUGA:Bisnis Tak Sekadar Cuan: Saat Branding Sehat Tak Sejalan dengan Etika
Konsumen kini semakin kritis, mereka tak hanya menilai produk, tapi juga integritas pelaku usaha. Review palsu mungkin bisa menipu beberapa orang, tapi ketika kebenaran muncul, reputasi bisa hancur seketika dan menyebar secepat virus di dunia maya.
Inilah saatnya dunia digital mengembalikan etika ke posisinya yang layak. Platform perlu menerapkan sistem verifikasi berbasis bukti transaksi, algoritma pendeteksi ulasan aneh, dan edukasi publik agar lebih bijak membaca review.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: magelang ekspres