The Green Illusion in Indonesian Business
Elvira Dewi Safitri Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta-DOK-MAGELANG EKSPRES
NARASI keberlanjutan kini menjadi wajah baru bisnis di Indonesia. Hampir setiap perusahaan berusaha menampilkan citra ramah lingkungan di hadapan publik.
Warna hijau mendominasi iklan, dan kemasan produk dilabeli eco-friendly, membentuk kesan bahwa dunia bisnis telah bertransformasi menuju praktik yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan.
Namun, ketika berbagai klaim tersebut tidak disertai tindakan nyata, keberlanjutan hanya menjadi strategi pencitraan yang menutupi praktik bisnis yang tidak etis.
BACA JUGA:Bisnis Tak Sekadar Cuan: Saat Branding Sehat Tak Sejalan dengan Etika
Dalam beberapa tahun terakhir, praktik greenwashing semakin sering ditemukan di berbagai sektor industri. Salah satu yang paling menonjol terlihat pada industri air minum dalam kemasan.
Sebuah produsen besar meluncurkan kampanye bertajuk “100% recycled bottle” dan memposisikan diri sebagai pelopor ekonomi sirkular.
Kampanye tersebut mendapat sambutan positif dari publik dan berhasil memperkuat citra perusahaan sebagai merek yang peduli terhadap lingkungan. Namun, hasil audit independen menunjukkan kenyataan yang berbeda.
Hanya sebagian kecil kemasan yang benar-benar kembali ke rantai daur ulang, sementara sebagian besar berakhir di tempat pembuangan akhir atau mencemari sungai dan laut.
BACA JUGA:Tantangan Lebih Kompleks, Walikota Magelang Gen Z Berani Investasi dan Bangun Bisnis Sendiri
Kecenderungan serupa juga tampak di sektor energi dan perkebunan. Sejumlah perusahaan mengklaim mendukung transisi energi bersih melalui program penanaman pohon dan proyek carbon offset, tetapi pada saat yang sama masih bergantung pada bahan bakar fosil dengan tingkat emisi yang tinggi.
Di sektor perkebunan, praktik greenwashing dilakukan melalui klaim “sawit berkelanjutan” untuk memperoleh sertifikasi dan kepercayaan pasar global. Kenyataannya, konflik lahan dengan masyarakat dan deforestasi masih terus terjadi di berbagai wilayah operasi.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa sebagian perusahaan memanfaatkan isu lingkungan bukan sebagai wujud tanggung jawab moral, melainkan sekadar sarana promosi untuk memperkuat citra.
BACA JUGA:Filantropi vs Eksploitasi: Dilema Etika di Balik Citra CSR Korporasi
Praktik seperti ini membuat etika bisnis kehilangan maknanya, karena konsep keberlanjutan yang seharusnya berlandaskan kepedulian dan tanggung jawab justru diperlakukan sebagai strategi reputasi semata.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: magelang ekspres