lalu ia mengucapkan ‘as-saamu ‘alaik’ (celaka engkau).
” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas membalas ‘wa ‘alaik’ (engkau yang celaka).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Apakah kalian mengetahui bahwa Yahudi tadi mengucapkan ‘assaamu ‘alaik’ (celaka engkau)?”
Para sahabat lantas berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kami membunuhnya saja?”
asulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan. Jika mereka mengucapkan salam pada kalian, maka ucapkanlah ‘wa ‘alaikum’.” (HR. Bukhari, no. 6926)
Menurut Ibnu Hajar rahimahullah bahwa hadits di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan menjawab salam orang muslim dan orang kafir.
Ibnu Batthol berkata, ‘Sebagian ulama berpendapat bahwa membalas salam orang kafir adalah wajib berdasarkan keumuman ayat (yaitu surah An-Nisa ayat 86).
Telah shahih dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Jika ada yang mengucapkan salam padamu, maka balaslah ucapannya walau ia seorang Majusi.”
Demikian pendapat Asy-Sya’bi dan Qatadah. Namun Imam Malik dan jumhur (mayoritas ulama) melarang demikian. Atha’ berkata, “Ayat (yaitu surat An-Nisa’ ayat 86) hanya khusus bagi kaum muslimin.
Jadi tidak boleh menjawab salam orang kafir secara mutlak. Hadits di atas cukup menjadi alasan.” (Fath Al-Bari, 11:42)
Surah An-Nisa ayat 86 yang dimaksud adalah,
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).”
Maksud hadits di atas adalah jika bertemu dengan orang kafir maka hendaklah kita mempersempit jalan mereka. Jangan membuka jalan pada orang kafir dalam rangka memuliakan atau menghormati mereka. (*)