Saat itu, laskar pejuang mendapat tembakan dari markas Ken Pei Tai di Jalan Tidar (kini SMK Wiyasa) Tanaka lalu membalas serangan itu.
Dan namanya kembali terukir dalam Palagan Magelang pada 31 Oktober 1945.
Di tempat lain, kawasan Alun-alun, dua pesawat cocor merah Belanda jatuh setelah terkena bidikan Tanaka.
Masing-masing jatuh di Kaliangkrik dan Sapuran.
BACA JUGA:Walikota Magelang Terharu, Paripurna Raperda APBD 2026 Disetujui 7 Fraksi Tanpa Interupsi
Kisah lain yang kerap diceritakan turun-temurun ialah aksi Tanaka yang berhasil membobol gudang senjata Inggris di kawasan tangsi militer, kini Komplek Rindam IV Diponegoro.
Inggris sempat mempercayai kunci gudang itu kepadanya, tetapi senjata justru mengalir ke tangan para pejuang.
Saat sekutu mengambil alih kekuasaan Jepang, sebagian besar pasukan kembali ke negeri asal.
Tanaka memilih tetap tinggal, bergabung dengan laskar yang memperjuangkan kemerdekaan, dan membangun keluarga di tanah yang akhirnya menjadi rumahnya.
BACA JUGA:Di Kota Magelang Akses Kesehatan Makin Terbuka Berkat Layanan Puskesmas Buka Pagi-Sore
Tanaka atau Sutoro pun terakhir bertugas dengan pangkat Mayor.
Kemudian saat pensiun ia mendapatkan pangkat kehormatan Letkol.
Bahkan, Sutoro pernah mendapatkan piagam Bintang Gerilya dari Presiden Sukarno pada tanggal 10 November 1958.
Tepatnya, pada 1 Agustus 1998, Sutoro meninggal dunia kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Dharmoloyo Magelang.
”Bapak sebagai orang Jepang, jiwa raganya diserahkan untuk Tanah Air Indonesia. Sebagai orang Jepang, tapi beliau sudah mendarah daging menjadi orang Indonesia, cinta Tanah Air Indonesia,” tutur Sugiyon, putra Sutoro, yang turut mendampingi Bagus Priyana di pameran itu.
BACA JUGA:Peringati Hari Guru Nasional, SMK Negeri 3 Magelang Gaungkan Semangat 'Guru Hebat, Indonesia Kuat'