Kuda Lumping Nyaris Menghilang Selama Pandemi
PURWOREJO, MAGELANGEKSPRES.COM - Pandemi Covid-19 yang berlangsung selama 1,5 tahun terakhir memang telah melumpuhkan sendi-sendi kehidupan. Tak terkecuali sektor kesenian. Akan tetapi, di balik dampak seriusnya yang serba menyulitkan, situasi pandemi justru menguatkan masyarakat. Bagai bara api, pandemi memantik gairah generasi muda untuk menjaga eksistensi seni sekaligus menyalakannya lewat sentuhan-sentuhan kreatif. EKO SUTOPO, Purworejo Iringan gamelan berpadu angklung dan beberapa alat musik kekinian mengalunkan nada bernuansa semangat di bawah rimbunnya pohon bambu yang menjadi lokasi Pasar Umpet di Desa Popongan Kecamatan Banyuurip Kabupaten Purworejo. Mendung yang menggantung tak menyurutkan semangat puluhan remaja untuk menampilkan gerak-gerak sigrak khas kesenian Kuda Lumping di hadapan para penonton yang mengelilinginya. Suasana kian hidup ketika cahaya matahari mulai menerobos sela-sela dedaunan, menerangi area pertunjukan. Beberapa warga mengenakan masker tampak fokus merekam menggunakan telepon genggam. Sebagian lain menyaksikan dari kedai-kedai sederhana sembari mencicipi ragam kuliner tradisional ala Pasar Umpet, seperti Sega Megana, Sega Urap, Sega Abang, Pecel, Kupat Tahu, tiwul, Geblek, Cenil, Grontol, Gethuk, dan Ongol-ongol. Anak-anak didampingi orang tuanya asyik bermain dan menikmati muansa pasar tradisional yang kini jarang dijumpai. Pemandangan itu terjadi pada Minggu (14/11) pagi lalu. Lebih ramai dari hari Minggu biasanya, Pengelola Pasar Umpet sengaja menyuguhkan hiburan Kuda Lumping dari Paguyuban Kesenian Gema Anom Budhaya yang digawangi para pemuda Desa Semawung Kecamatan/Kabupaten Purworejo. Tidak hanya penonton, sejumlah anak-anak yang turut tampil menarikan Kuda Lumping pun senang. “Kami sangat senang PPK masuk level 2 sehingga bisa gladen (pentas) dilihat penonton secara langsung. Karena kita masih baru, jadi ini istilahnya belum tanggapan, baru ngamen,” kata Dwi Mantoro (27), pemuda Desa Semawung yang dipercaya menjadi Ketua Paguyuban Kesenian Gema Anom Budhaya. Usia Gema Anom Budhaya memang masih seumur jagung. Baru didirikan pada 24 Oktober 2021. Menurut Dwi, lahirnya paguyuban kesenian ini dilatarbelakangi oleh kerinduan sekelompok pemuda terhadap minimnya intensitas pentas kuda lumping selama pandemi. Berbekal bimbingan dari sejumlah sesepuh pegiat kesenian tradisional Incling di desa setempat, mereka pun menyatu dan sepakat membuat paguyuban. Beberapa pemuda dari desa dan kecamatan lain diajak bergabung. “Tidak hanya dari Semawung, ada beberapa teman dari kecamatan Kutoarjo dan Bayan ikut gabung. Ini menjadi ekspresi kerinduan kami terhadap kesenian Jaran Kepang,” Sebutnya. Saat ini sudah ada sekitar 50 orang terlibat, mulai anak-anak SD hingga dewasa. Ada yang jadi penari, pengrawit, penyanyi, hingga pendukung pentas. Menurut Dwi, tidak mudah memang merintis kesenian pada masa pandemi yang belum berakhir saat ini. Banyak kendala dan keterbatasan. Namun, berbekal tekat yang sama, semua dapat dilalui. Saat latihan misalnya. Mereka memiliki strategi khusus, yakni dengan menerapkan protokol kesehatan 5M. Semua anggota juga berupaya mendapatkan vaksinasi. “Semangat kita ingin nguri-uri budaya. Jadi meskipun ada kendala saat latihan, keterbatasan alat, dan lain-lain kita tetap jalan,” ungkapnya. Gema Anom Budhaya dibina sejumlah pegiat Incling dan Kuda Lumping di desa setempat, antara lain Maryono dan Marjuni. Nama Gema Anom Budhaya dipilih karena sarat makna. Gema berarti menggema atau bersuara, anom berarti muda, dan budhya berarti budaya. “Insya-Allah dengan nama ini mereka punya semangat muda untuk melestarikan dan membudayakan kesenian asli Jateng ini, khususnya Purworejo,” ucap Maryono, Minggu (21/11). Melihat tampilan anak-anak pada pekan lalu, Maryono optimistis dapat berkembang. Mereka telah memiliki mental yang baik untuk tampil di muka umum. Para pemain juga mampu memukau penonton dengan tampilan koreografi hasil garapan mereka mandiri. “Ada beberapa nggota memang yang sekolah kesenian. Jadi mereka kreatif menggarap koreo baru hasil kreasi sendiri tanpa meninggalkan ciri khas kuda lumping,” bebernya. Saat ini Gema Anom Budhaya memang belum dilaunching secara resmi. Baru tahap pengenalan sambil menunggu legalitas dari Dinparbud. Para pembina berharap, seluruh pemuda yang terlibat mampu bahu-membahu membesarkan paguyuban. “Setelah dapat legalitas baru kita akan launching atau syukuran lah istilahnya. Tapi sekarang kalau ada yang mau nanggap kita siap,” ujarnya. Hadirnya Gema Anom Budhaya menguatkan daya tarik Pasar Umpet yang berada di sebelah barat Jembatan Gantung Semawung-Popongan (Semapop). Terbukti, tingkat kunjungan meningkat sehingga omzet para pedagang pun bertambah. “Dampaknya sangat positif terhadap tingkat kunjungan. Sudah sekitar 5 Minggu terakhir omzet pedagang sekitar Rp7 juta, ada kesenian menyentuh Rp8 juta hingga Rp9 juta,” kata Hariyono, Pengelola Pasar Umpet. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: