Melihat Sejarah Wabah Menular di Wonosobo di Era Kolonial Belanda
MAGELANGEKSPRES.COM,Wabah virus corona yang menjangkiti 200 lebih negara, dianggap semakin mengkhawatirkan, selain belum ditemukan obatnya, virus tersebut memiliki kecepatan penularan yang cukup signifikan. Kabupaten Wonosobo berstatus tanggap darurat. Hal itu setelah diumumkan secara nasional, pasien dengan nomor 653 asal kabupaten dingin ini positif. Bagaimana dengan sejarah penyakit menular di era kolonial dulu yang disebut warga sebagai zaman pagebluk. DARI literatur sejarah yang dikumpulkan oleh Pustakawan Madya Dinas Arpusda Wonosobo Dwi Putranto Bimo S mengenai kondisi kesehatan rakyat Wonosobo di era kolonial, kejadian kasus penyakit menular sungguh memprihatinkan. Kesenjangan antara bangsa eropa dan pribumi baik dari pelayanan kesehatan maupun kesehatan lingkungan jauh berbeda. Bangsa Eropa sudah menempati rumah-rumah yang layak dengan sanitasi yang baik dan terbuat dari batu kokoh. Sedangkan Pribumi berada pada lingkungan yang berjejal, sempit, becek dan lembab. Kondisi ini diperparah dengan bangunan tempat tinggal yang terbuat dari kayu seadanya dengan atap rumbia yang sangat rentan menjadi sarang penyakit. Ada beberapa kasus cukup besar di era kolonial yang memunculkan wabah penyakit di Wonosobo antara lain cacar dan pes. Menurut Boomgaard sepanjang abad 19 cacar telah menjadi penyakit endemik dan sekaligus epidemi artinya pada kurun waktu tertentu menyerang kesehatan penduduk Jawa. Daerah yang paling parah diserang adalah Bogor, Priangan, Jogjakarta, dan Surakarta. Tingkat tertinggi penderita cacar pada abad 19 terjadi pada Tahun 1913 dengan 40.000 penderita dengan tingkat kematian mencapai 10.000 orang. Tidak ada data akurat tentang korban yang berada di Wonosobo, namun dengan daerah Yogyakarta menjadi salah satu pusat wabah maka Wonosobo tidak akan luput dari wabah cacar tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya literatur dari Schoute pada Tahun 1937 yang dilansir oleh Boomgaard yang menyatakan bahwa jauh sebelum abad 19 yaitu pada Tahun 1852, Residen Begelen melaporkan bahwa Feldman, seorang officer gezonheid (petugas kesehatan) berkebangsaan Jerman, setelah mengadakan percobaan selama 6 bulan berhasil melakukan retrovaksinasi dari anak sapi di Desa Kecewan (Kejiwan) Wonosobo. Percobaan ini menghasilkan vaksin cacar yang kemudian diproduksi dan digunakan pada Tahun 1854 di Residensi Madiun, Pasuruan, Kedu, Kediri, dan Priangan. Selain cacar, wabah pes juga merupakan wabah yang menyarang Wonosobo di masa kolonial. Penyakit Pes masuk di wilayah Wonosobo pada Tahun 1919 melalui pelabuhan Semarang. Pes merupakan penyakit Zoonosa terutama pada tikus dan rodent lain dan dapat ditularkan kepada manusia. Pes juga merupakan penyakit yang bersifat akut disebabkan oleh kuman/bakteri. Selain itu pes juga dikenal dengan nama Pesteurellosis atau Yersiniosis/Plague. Pemerintah Kolonial membentuk Dinas Pemberantasan Pes (Dienst der Pesbestrijding) pada 1915. Kemudian disusul dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, antara lain yang disebut penataan rumah. Rumah-rumah yang diserang diberi tanda bendera merah. Para penderitanya di karantina di barak-barak yang terletak di tanah lapang dan dijaga ketat. Kemudian rumah-rumah bekas pasien dibakar habis dan rumah baru yang lebih baik sanitasinya di tempat yang lain. Di Wonosobo pada Tahun 1919 dilakukan tindakan penanggulangan penyakit pes dengan cara didesinfeksi dan perbaikan perumahan di beberapa tempat. Dari yang tercatat di Museum Volkenkunde Belanda, didesinfeksi dilakukan di daerah Banjaran Mertau Wonosobo. Sedangkan perbaikan perumahan dilakukan di wilayah Tjapar Kerteg, Selomerto, dan Krasah (Krasak). Selain itu Pemerintah Kolonial menugaskan Dr. M Fischman untuk membantu penanggulangan pes di wilayah Wonosobo Setelah vaksinakasi dilanjutkan dengan apa yang disebut perbaikan rumah dengan target sebanyak mungkin. Afdeling Wonosobo melakukan program ini di kecamatan Kerteg, Wonosobo, Garoeng, Tjandirata dan Djoema. Setelah itu menyusul onderdistric Kedjadjar dan beberapa onderdistric lainnya yaitu Kalikadjar, Ketasaba, dan Madjatengah. Dari Tahun 1922 – 1923 di Devisi Wonosobo diperkirakan tercatat peningkatan rumah tinggal sebanyak 9138 unit dan 1890 unit telah dilakukan perbaikan atap genting dan ventilasi udara. Wabah penyakit lain yang terdata di era kolonial adalah Disentri dimana merebak di Priangan, Wonosobo, Jogjakarta, Klaten dan Surakarta (2840 kasus dengan 347 kematian). Kemudian munculnya kasus meningitis di Wonosobo Tahun 1930 dengan 39 kasus dan 12 kematian. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: