Potensi, Negara Rugi Rp51,1 Triliun, Imbas Melonjaknya Barang Kiriman Impor Sepanjang Tahun
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Pertumbuhan jumlah barang kiriman impor membuat resah pengusaha mikro khususnya UMKM di sejumlah daerah. Kekhawatiran ini, jelas akan membunuh produktivitas dan nilai tambah setelah munculnya persaingan harga termasuk akses penjualan yang terbatas. Di sisi lain, jika Indonesia membatasi ruang impor, produk dalam negeri pun akan mengalami stagnasi, karena bahan baku selama ini didatangkan dari tetangga. Peningkatan ini ditunjukan dengan beberapa fakta. Seperti masuk barang impor ke Batam, Kepulauan Riau, sepanjang 2019 totalnya menembus 57,9 juta paket, atau melonjak drastis sekitar 197 persen dibanding 2018. Padahal batas normal barang impor hanya sebesar 5 persen per tahun. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pun angkat bicara terkait hal ini. ”Tentu saja ini menjadi kekhawatiran semua pihak. UMKM kita yang terganggu. Lagi-lagi kami meminta, soal izin tolong dipermudah, dan meminta pada pemerintah untuk membuat tingkat kompetisi yang adil,” terang Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani, pada konferensi pers, Kamis (23/1). ”Pertumbuhan jumlah barang kiriman impor ini normalnya hanya sebesar 5 persen per tahun. Artinya, jumlah barang kiriman sepanjang 2019 seharusnya hanya mencapai 7,5-8 juta paket, jika melihat data jumlah 2017 dan 2018. Kelonggaran ini yang harus menjadi perhatian serius,” timpalnya. Jika ditilik dari data yang ada, sambung Hariyadi, maka akan muncul potensi kerugian bagi pengusaha secara nasional. ”Coba catat saja, kalau ada 57,9 juta paket atau dibulatkan menjadi 58 juta paket, kemudian dikurangi data perkiraan normal sebesar 8 juta paket, artinya ada 50 juta paket. Hitung saja, potensi kerugiannya,” timpalnya. Selama ini, Bea Cukai menetapkan nilai pembebasan bea masuk atas barang kiriman dikenakan sebesar 75 dolar AS per kiriman. Artinya, potensi kerugian dari 50 juta paket yang tidak terkena bea masuk, yakni sebesar 3,75 miliar dolar AS atau sekitar Rp51,1 triliun.”Kalau mau dihitung, kita asumsikan 50 juta kiriman dikalikan 75 dolar AS. Itulah potensi yang selama ini hilang. Terang saja, impact-nya seharusnya dinikmati industri dalam negeri,” kata dia. Pada posisi ini, Apindo mendukung langkah pemerintah yang menetapkan ketentuan impor terbaru dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK 199/PMK.04/2019 yang akan mulai berlaku pada 30 Januari 2020. Dalam aturan ini, Bea Cukai menyesuaikan nilai pembebasan bea masuk atas barang kiriman dari sebelumnya 75 dolar AS menjadi 3 dolar AS per kiriman. Sedangkan pungutan pajak dalam rangka impor (PDRI) diberlakukan normal. Pemerintah juga merasionalisasi tarif dari semula berkisar 27,5 persen--37,5 persen menjadi 17,5 persen. Meskipun bea masuk terhadap barang kiriman dikenakan tarif tunggal, pemerintah menaruh perhatian khusus terhadap masukan yang disampaikan oleh perajin dan produsen barang-barang yang banyak digemari dan banjir dari luar negeri. Hal ini mengakibatkan produk tas, sepatu, dan garmen dalam negeri tidak laku. Beberapa sentra kerajinan tas dan sepatu gulung tikar dan hanya menjual produk-produk luar negeri. Nah, melihat dampak yang disebabkan dari menjamurnya produk-produk tersebut, untuk komoditi tas, sepatu, dan garmen, pemerintah menetapkan tarif normal yaitu bea masuk sebesar 15-20 persen untuk tas, 25-30 persen untuk sepatu, dan 15-25 persen untuk produk tekstil. ”Tentu saja penetapan tarif normal ini demi melindungi industri dalam negeri yang mayoritas berasal dari IKM,” jelasnya. Terpisah, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengingatkan bahwa hambatan berlebihan terhadap proses dan mekanisme impor dapat berakibat terhambatnya investasi dari perusahaan terutama mereka yang masih membutuhkan bahan baku dari luar negeri. ”Ya kalau pemerintah memberikan pembatasan terhadap impor yang berlebihan, tidak hanya akan berdampak pada kerugian yang dirasakan oleh negara eksportir, tetapi dapat menghambat pertumbuhan investasi di dalam negeri,” kata Galuh Octania. Menurut Galuh, pada saat ini masih banyak produk Indonesia yang membutuhkan bahan baku yang tidak dapat disediakan oleh dalam negeri sehingga butuh melewati impor. Namun, lanjutnya, bila terdapat regulasi restriksi impor yang berlebihan, maka depannya juga berpotensi membuat produk Indonesia yang diekspor akan mengalami penurunan nilai. Sampai saat ini, Indonesia masih menerapkan berbagai bentuk hambatan non tarif. Padahal Indonesia harus menunjukkan komitmen dan keseriusannya dalam mentaati perjanjian dagang internasional, salah satunya melalui penghapusan hambatan non tarif dan juga menghilangkan restriksi (pembatasan) pada perdagangan internasional. ”Indonesia sudah menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) WTO pada 1994 lalu yang menyebutkan kalau hambatan nontarif tidak boleh menjadi pembatasan dalam perdagangan. Namun pada kenyataannya, Indonesia justru membatasi impor pada beberapa komoditas,” ucap Galuh. Ia berpendapat bahwa walaupun pemerintah sudah meratifikasi GATT WTO tersebut lewat Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 1994, peraturan turunannya justru menjadi hambatan non tarif. Menurut dia, hal tersebut dinilai bertolak belakang dengan pemerintah yang ingin memangkas peraturan yang menghambat investasi dan ingin meningkatkan ekspor Indonesia. Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Bea Cukai Syarif Hidayat dalam keterangan persnya menyebut pungutan pajak dalam rangka impor (PDRI) diberlakukan normal. Pemerintah merasionalisasi tarif dari semula berkisar berkisar 27,5-37,5 persen (bea masuk 7,5 persen, PPN 10 persen, dan PPh 10 persen dengan NPWP, dan PPh 20 persen tanpa NPWP menjadi sekitar 17,5 persen (bea masuk 7,5 persen, PPN 10 persen, PPh 0 persen). Sebelum ada aturan baru itu, perajin dan produsen dalam negeri mengeluhkan produk mereka tidak laku di pasar karena membanjirnya produk impor. Kondisi tersebut mengakibatkan sentra pengrajin tas, produk garmen dan sepatu banyak yang gulung tikar dan hanya menjual produk-produk Cina. Melihat dampak yang disebabkan dari menjamurnya produk-produk tersebut, pemerintah telah menetapkan tarif bea masuk normal untuk komoditi tas, sepatu, dan garmen. Besaran untuk produk tas yakni mencapai 15-20 persen, sepatu mencapai 25-30 persen dan 15-25 persen untuk produk tekstil dengan PPN sebesar 10 persen, dan PPh sebesar 7,5 hingga 10 persen. ”Penetapan tarif normal ini demi menciptakan perlakuan yang adil dalam perpajakan antara produk dalam negeri yang mayoritas berasal dari industri kecil menengah dan dikenakan pajak dengan produk impor melalui barang kiriman serta impor distributor melalui kargo umum,\" katanya. (ful/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: