UU Cipta Kerja Cacat Hukum

UU Cipta Kerja Cacat Hukum

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berpotensi cacat hukum. Jika perbaikannya tak melalui prosedur aturan pembentukan UU. Menurut anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Ali Taher Parasong, UU Cipta Kerja yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo sudah final. Karenanya, jika dilakukan perubahan lagi antara pemerintah dan DPR, maka berpotensi cacat hukum. Terlebih bila proses perubahan tak mengikuti aturan pembentukan perundangan. \"Jadi, klaster-klaster yang sudah diputuskan itu. Marilah kita konsisten menjalankannya sesuai dengan prosedur pembahasan perundang-undangan, dan itu mekanisme kan begitu,\" katanya, Minggu (8/11). Disarankannya, jika ada perubahan terhadap pasal UU Cipta Kerja yang keliru bisa diperbaiki pada saat judicial review. Atau bisa juga pada saat peninjauan ulang pada waktunya. Selain itu perubahan juga bisa dilakukan dengan cara pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). \"Ya (Perppu) bisa kalau Presiden menghendaki karena itu kan hak inisiatif dari Presiden, dari pemerintah,\" ujarnya. Ditegaskan politisi PAN itu, UU Cipta Kerja sudah selesai. Semua pihak diminta untuk tidak lagi mengubah atau merevisi UU Cipta Kerja. \"Jadi jangan ada lagi siapapun itu mencoba mengubah atau menyatakan itu perlu ada revisi, apapun teknisnya. Bagi saya itu sudah cacat prosedural lagi,\" ucapnya. Sementara anggota Baleg dari PDI Perjuangan Arteria Dahlan meminta UU Cipta Kerja tak perlu dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU Cipta Kerja bisa diperbaiki bersama-sama oleh DPR tanpa ribut-ribut ke MK. Terlebih diperbaiki lewat Perppu. Dikatakannya, UU Cipta Kerja tak kehilangan legitimasi moral dari rakyat sekalipun banyak kesalahan maupun penolakan di publik. \"Kalau dikatakan salah rujuk, salah ketik, atau salah redaksi ini sampai mengatakan adanya legitimasi moral, saya rasa kurang pas juga,\" katanya. Menurutnya, seluruh tim yang bertanggung jawab atas UU Cipta Kerja sangat serius menggarap undang-undang \\\'sapu jagat\\\' itu. Tak ada anggota yang bolos dalam pembahasan. \"Memang ada luput sedikit, tapi jangan sampai kekhilafan, kekeliruan ini menjadi bahan untuk dijadikan alasan delegitimasi pemerintah maupun DPR,\" ujarnya. Arteria menuding para ahli hukum mempersulit keadaan, jika harus UU Cipta Kerja dibawa ke MK. \"Gak perlu lah kita ke MK. Gak perlu kita bicarakan obyek politis, cacat formal, cacat materilnya gimana,\" katanya. Dia juga menegaskan semua tak perlu menunggu putusan MK soal kondisional, bersyarat, atau tidak. \"Wong pihak pemerintahnya, DPR-nya sudah ngakuin ada salah rujukan. Ya, segera diperbaiki saja!\" ujarnya. Di sisi lain, MK memastikan akan independen menangani judicial review (JR) UU Cipta Kerja. Bahkan hingga kini MK telah menerima lima permohonan JR UU Cipta Kerja. “Yang pasti MK tidak pernah dan tidak boleh berpendapat untuk mendukung atau tidak mendukung suatu UU. Pendapat MK hanya disampaikan melalui putusan sekiranya ada perkara pengujian UU,” kata juru bicara MK, Fajar Laksono. Fajar menegaskan, mengenai putusan tergantung pada hakim konstitusi yang menangani perkara. Putusan hakim konstitusi berdasarkan pada UUD 1945. “Mengenai bagaimana putusannya, itu merupakan ranah otoritas Hakim Konstitusi. Apapun itu akan didasarkan pada UUD 1945, pasti ada pertimbangan yang kelak disampaikan dalam putusan,” tegasnya. Dikatakannya, MK akan membuka persidangan secara transparan. Publik bisa melakukan pemantauan secara langsung jalannya proses persidangan. “Publik kiranya perlu ikut terlibat atau turut memantau jalannya persidangan, dan untuk itu MK sudah membuka akses seluas-luasnya bagi publik,” ujarnya.(gw/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: