Bolehkah Menggabungkan Puasa Syawal dengan Puasa Ayyamul Bidh? Simak Penjelasan Ulama!
![Bolehkah Menggabungkan Puasa Syawal dengan Puasa Ayyamul Bidh? Simak Penjelasan Ulama!](https://magelangekspres.disway.id/upload/b1a736cbd83f04b43a386e3fb135bcfc.jpg)
Ilustrasi menggabungkan puasa syawal dengan puasa bidh-DESAIN GRAFIS : WIWID ARIF-MAGELANG EKSPRES
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menganggap itu sama seperti orang yang melakukan tahiyatul masjid di mana shalat tersebut bisa gugur dengan melakukan shalat sunnah rawatib.
Maksudnya, shalat tahiyatul masjid sudah masuk dalam shalat sunnah rawatib.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abu Qatadah bin Rib’iy Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّىَ رَكْعَتَيْنِ
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sampai ia melaksanakan shalat dua raka’at.” (HR. Bukhari, no. 1163; Muslim, no. 714). Shalat tahiyatul masjid ini bisa dipenuhi dengan dua raka’at shalat sunnah rawatib. Demikian maksud Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah.
3. Tidak Boleh Menggabungkan Niat Puasa karena Tidak Ada Dalilnya
Pendapat itu disumpaikan oleh Syaikh Muhammad bin Rosyid Al Ghofili. Beliau hafizhohullah berkata, “Ada sebagian orang yang melakukan puasa enam hari di bulan Syawal sekaligus berniat puasa Senin Kamis karena itulah hari kebiasaan puasanya. Yang ia harapkan adalah pahala kedua puasa tersebut. Dan ini adalah pendapat sebagian ulama yang dianggap sebagai ijtihad mereka. Namun yang jelas ijtihad ini adalah ijtihad yang keliru.
Yang benar, tidak bisa diperoleh pahala puasa Syawal dan puasa Senin Kamis sekaligus.
Karena puasa enam hari di bulan Syawal punya keutamaan tersendiri dan puasa Senin Kamis punya keutamaan tersendiri.
Demikian pula, bagi yang menjadikan puasa enam hari di bulan Syawal satu niat dengan puasa Ayyamul Biid (puasa pada tanggal 13, 14, dan 15 hijriyah). Penggabungan niat seperti ini adalah pendapat yang tidak benar dan tidak ada dasarnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara dalam urusan agama kami yang tidak ada dasarnya, maka amalan tersebut tertolak” (Muttafaqun ‘alaih).
Ibadah itu sudah paten baik ibadah yang sunnah maupun yang wajib. Ibadah itu masuk dalam hukum syar’i, artinya harus ada dalil yang membenarkannya. Sehingga tidak boleh bagi seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala kecuali dengan dalil yang benar-benar tegas, yang tidak ada keraguan di dalamnya.”
Demikian penjelasan Syaikh Muhammad bin Rosyid dalam kitabnya Ahkam Maa Ba’da Shiyam, hal. 169. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: rumaysho.com