Filantropi vs Eksploitasi: Dilema Etika di Balik Citra CSR Korporasi
Zaidan Naufal Yahya, Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta-DOK-MAGELANG EKSPRES
PANDANGAN publik terhadap bisnis berkelanjutan makin terbuka, menempatkan banyak perusahaan dalam sorotan. Ironisnya, di tengah citra kepedulian lewat program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), praktik eksploitasi di rantai pasokan masih terjadi.
Fenomena ini menimbulkan dilema etika: apakah filantropi korporasi sungguh tulus atau hanya menutupi praktik yang merugikan?
Di Indonesia, bentuk eksploitasi terlihat di sektor perikanan, garmen, dan perkebunan. Banyak pekerja berupah rendah, jam kerja panjang, dan perlindungan minim.
BACA JUGA:Pekerja Migran di Zaman Global: Pahlawan Ekonomi yang Sering Dilupakan
Meski begitu, perusahaan tetap menonjolkan citra sosial melalui kegiatan penghijauan, beasiswa, atau bantuan bencana. CSR pun sering bergeser menjadi alat pencitraan, bukan komitmen etis.
Menurut Carroll’s Fourpart Model of CSR (1991), tanggung jawab perusahaan mencakup empat tingkat: ekonomi, hukum, etika, dan filantropi. Banyak perusahaan berhenti di tingkat filantropi tanpa menyelesaikan masalah ekonomi dan etika di dasarnya. Mereka tampak dermawan, namun tetap menekan biaya tenaga kerja demi efisiensi.
Dari sisi teori utilitarianisme, tindakan moral seharusnya memberi manfaat bagi banyak orang. Jika kebijakan perusahaan menguntungkan pemegang saham tetapi merugikan ribuan pekerja, itu bertentangan dengan prinsip etika tersebut.
BACA JUGA:Barista: Upah yang Tak Seindah Senyumnya
CSR seharusnya berfokus pada keadilan upah dan keselamatan kerja, bukan sekadar donasi publik.
Konsep corporate citizenship menempatkan perusahaan sebagai “warga masyarakat” dengan tanggung jawab moral untuk menghormati hak asasi manusia dan memperjuangkan keadilan sosial.
Nilai CSR bukan diukur dari besarnya bantuan, tetapi sejauh mana aktivitas bisnis menghargai martabat manusia.
BACA JUGA:Korporasi dan Krisis Etika Politik: Ketika Donasi Korporasi Jadi Senjata Pengendali Kebijakan
Kesadaran konsumen kini menekan perusahaan agar lebih etis. Kampanye ethical consumerism membuat publik kritis terhadap asal-usul produk dan kondisi pekerja. Generasi muda menuntut transparansi dan keberlanjutan.
Selain itu, tekanan regulasi global seperti Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD) di Uni Eropa, serta kebijakan Indonesia seperti SVLK dan pedoman Human Rights Due Diligence, mendorong perusahaan memperbaiki praktik bisnisnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: