Pusat Kian Tersudut, Daerah Dihadapkan Opsi Sulit Opsi Lokdown atau Karantina

Senin 30-03-2020,03:40 WIB
Editor : ME

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Polda Metro Jaya ternyata tengah menyusun skema simulasi pembatasan akses dari dan menuju Jakarta sebagai antisipasi untuk menghalau penyebaran Virus Corona (Covid-19). Yang menarik, sejumlah daerah tengah mematangkan sejumlah opsi, baik karantina higga lockdown sebagai antisipasi terburuk. Secara jelas, Pemerintah Pusat makin tersudut dengan desakan yang harus disikapi secara cepat, melihat kondisi darurat saat ini. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Yusri Yunus saat dikonfirmasi menegaskan Jakarta tidak dalam kondisi atau akan melakukan lockdown. ”Sekarang situasi Jakarta masih social distancing, physical distancing, tidak ada karantina wilayah atau lock down. Tapi, kita harus tetap latihan. Apapun yang terjadi kita sudah latihan,” kata Yusri saat dikonfirmasi di Jakarta, Minggu (29/3. Yusri mengatakan Polda Metro Jaya akan bertindak untuk menegakkan keputusan yang diambil oleh pemerintah, oleh karena itu jajarannya akan menggelar latihan untuk bersiap terhadap apapun keputusan pemerintah. ”Jakarta belum mengenal karantina, tapi kalau pemerintah mau laksanakan silahkan. Tapi kita sudah latihan, kita harus latihan dulu,” ujarnya. Yusri mengatakan saat ini jajaran kepolisian di wilayah tengah mengumpulkan data di masing-masing wilayah. ”Jadi kita latihan simulasi situasi sekarang ini. Jadi kita minta data di masing-masing wilayah, kumpulkan, rapatkan, dibikin pelatihan bersama. Jadi besok-besok apapun yang terjadi sudah siap,” jelasnya. Terpisah, Gubernur Jawa Barat (Jabar) M Ridwan Kamil mengatakan Pemerintah Provinsi Jabar hingga saat ini sedang mematangkan rencana lockdown atau karantina wilayah yang masuk zona merah penyebaran Covid-19. ”Opsi lockdown atau karantina wilayah khususnya untuk zona merah ini sedang kita bahas, besok akan dirampungkan,” kata Kang Emil, dalam siaran persnya, Minggu (29/3). Meski begitu, Kang Emil tetap menyerahkan keputusan lockdown atau karantina sejumlah wilayah di Jabar kepada pemerintah pusat. ”Tapi apapun itu saya selalu koordinasi dengan Pak Doni Monardo (kepala Gugus Tugas Penanganan Covid-19) untuk meminta izin. Jadi, tidak boleh ada daerah yang melalukan lockdown tanpa izin pemerintah pusat,” katanya. ”Jika dalam keselamatan warga itu para Lurah, RW, RT melakukan karantina kewilayahan saya kira argumentasi itu bisa diterima. Yang level kota, kabupaten dan provinsi itulah yang harus mendapatkan izin dari pemerintah pusat,” katanya. Terkait larangan mudik, Kang Emil menginstruksikan seluruh ketua RT dan RW untuk mendata warganya yang sudah terlanjur pulang ke rumah dari perantauan. Hal itu dilakukan agar individu yang baru mudik untuk melakukan isolasi mandiri selama 14 hari karena berstatus orang dalam pemantauan (ODP). Maka itu, Kang Emil mengimbau masyarakat Jabar yang sedang merantau untuk tidak pulang kampung atau mudik lebih dulu. Sebab, kata dia, orang yang mudik dari wilayah terpapar dapat membuat penyebaran COVID-19 semakin luas. ”Banyaknya pemudik akan mempersulit pengaturan kami yang sudah kita maksimalkan di warga setempat. Kalau ditambah lagi dengan warga mudik yang kami tidak tahu histori kesehatannya dan datang dari daerah pusat pandemi seperti Jakarta, ini menyulitkan,” katanya. Kang Emil menambahkan, Pemerintah Provinsi Jabar saat ini sedang melakukan tes masif untuk memetakan persebaran dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19. ”Kalau ada yang mudik ini mempersulit peta lagi karena setiap pemudik yang mayoritas dari Jakarta kan otomatis dia jadi ODP, kalau dia sudah terpaksa datang ke Jabar maka dia wajib karantina mandiri,” katanya. Untuk melihat sejauh mana penerapan physical dan social distancing di Kota Bandung, Kang Emil melakukan inspeksi mendadak (sidak). ”Kemarin, dalam video yang viral, memang saya sedang inspeksi dan melihat, memang respons terhadap bekerja di rumah dan social distancing belum dilakukan secara maksimal,\" katanya. Dalam sidak tersebut, Kang Emil coba melihat respons masyarakat terkait rencana lockdown atau karantina wilayah. ”Jadi, waktu dites akan ada lockdown itu, untuk mengetes reaksi dari masyarakat dan ternyata biasa-biasa saja. Tapi, poinnya adalah persiapan ke arah sana sedang kita lakukan, namun keputusan tetap ada di pemerintah pusat. Kalau nanti waktunya tiba (lockdown wilayah) masyarakat jangan kaget dan tentunya harus kita persiapkan dengan baik,” imbuhnya. Opsi sulit pun dihadapi Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat. Pemerintah setempat sedang mengkaji terapan opsi lokal lockdown mengingat perkembangan sebaran virus corona baru atau Covid-19 di kota itu semakin masif. ”Kami sedang buatkan kajiannya yang nanti akan disampaikan kepada Gubernur Jawa Barat sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah,\" kata Wali Kota Depok Mohammad Idris. Namun kata Idris untuk menerapkan opsi lokal lockdown memang kewenangan pemerintah pusat. Wali Kota mengatakan dengan melihat perkembangan penyebaran Covid-19 demikian masif di Kota Depok saat ini sudah seharusnya dilaksanakan karantina wilayah di Jabodetabek. Idris mengatakan pihaknya telah melakukan langkah-langkah taktis yang dilakukan Gugus Tugas di antarannya koordinasi pusat dan provinsi yang dilakukan secara langsung, penanganan kasus sesuai protokol, tracking pada orang-orang yang kontak erat dan penanganan area sekitar. ”Pengawasan intensif bagi orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP) dan terkonfirmasi positif yang melakukan isolasi mandiri, penyemprotan disinsfektan, sosialisasi secara masif, menggerakkan relawan dan banyak lagi aktifitas gugus tugas yang dilakukan,” katanya. Idris memahami banyaknya keluhan yang disampaikan, hal ini mengingat pandemik COVID-19 ini demikian masif sedangkan peralatan sulit diperoleh terutama APD, disamping itu fasilitas kesehatan yang menangani Covid-19 saat ini kondisinya rata-rata sangat terbatas. ”Kita sudah merencanakan rumah sakit yang didedikasikan untuk COVID-19 yaitu Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) yang saat ini sedang dipersiapkan. Selain itu juga kita rencanakan Rumah Sakit Lapang di area RSUD hingga alternatif menyiapkan ruang sekolah yang akan didedikasikan sebagai tempat penanganan kasus ringan Covid-19,” ujar dia. Dengan Rumah Sakit di Wisma Atlit, dilakukan koordinasi intensif untuk penanganan kasus Covid-19 dari Kota Depok, jelasnya. Sementara, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid meminta pemerintah mengikuti saran Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk fokus dan memprioritaskan penanganan pandemi Covid-19 dengan kebijakan yang efektif dan realokasi anggaran secara cepat. Hidayat melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Minggu, mengapresiasi langkah MUI dan organisasi keagamaan lainnya yang dalam beberapa waktu terakhir telah memfatwakan dan mengimbau umat masing-masing agar berperan dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dengan beribadah di rumah. Namun, ia mendesak pemerintah agar menindaklanjuti upaya dari berbagai organisasi keagamaan tersebut. ”Tidak efektif jika MUI dan yang lainnya sudah mengeluarkan fatwa atau panduan untuk fokus beribadah di rumah, sedangkan pemerintah tidak fokus membuat kebijakan yang efektif untuk mengatasi masalah Covid-19, yang oleh pemerintah dinyatakan sebagai bencana nasional non-alam,” katanya. Oleh karena itu, Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut menyarankan pemerintah segera mengikuti saran MUI agar memprioritaskan dan fokus mengatasi pandemi Covid-19, dan tidak membahas program-program tidak prioritas seperti pembangunan atau pemindahan ibu kota. ”Baik para pemuka agama maupun pemerintah daerah sudah berupaya sekuat tenaga mencegah dampak terburuk dari Covid-19. Maka, supaya segala upaya itu efektif dan tidak sia-sia, agar pemerintah segera lakukan \\\'lockdown\\\' total ataupun lokal sesuai pertimbangan para ahli,” katanya. Anggaran untuk hal yang tidak penting, kata dia, seperti anggaran kementerian untuk kunjungan dinas yang tidak mendesak, sebagaimana pernah disebut Presiden Jokowi, agar segera direalokasi untuk fokus mengatasi pandemi Covid-19 dengan segera mengajukan perubahan APBN ke DPR. Demikian juga proyek ibu kota baru yang tidak ada dalam janji kampanye, agar tidak mengalahkan fokus pemerintah dan APBN untuk menyelamatkan rakyat dan NKRI dari Covid-19. ”Bila memang ada anggaran-anggaran tersebut, agar direalokasi untuk fokus menopang kesehatan dan kesejahteraan rakyat selama bencana nasional Covid-19 ini,” kata Hidayat. Selain itu, Hidayat juga mengajak seluruh organisasi keagamaan agar meningkatkan upaya-upaya yang lebih efektif dalam membimbing umat beragama di tengah merebaknya wabah Covid-19. Menurut dia, hal itu penting karena masih ada umat beragama yang belum melaksanakan fatwa atau arahan pimpinan umat beragama terkait penyikapan terhadap masalah Covid-19. Terpisah, Pengamat Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar Fahri Bachmid menyatakan kepala daerah tidak berwenang menetapkan opsi karantina atau lockdown terkait dengan pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) secara sepihak karena tidak sejalan dengan undang-undang. ”Segala tindakan administratif pemerintah daerah mempunyai implikasi hukum yang serius di semua sektor lapangan hukum publik kendati kebijakan itu untuk menyelamatkan masyarakat,” kata Fahri dalam keterangan tertulisnya. Berdasarkan desain hukum, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, kepala daerah tidak diberikan atribusi kewenangan untuk melakukan tindakan karantina wilayah, baik sebagian maupun keseluruhan. Menurut dia, yang berwenang mengeluarkan bebijakan karantina adalah pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2018, khususnya ketentuan dalam Pasal 11 Ayat (1). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa penyelengaraan kekarantinaan kesehatan pada kedaruratan kesehatan masyarakat dilaksanakan oleh pemerintah pusat secara cepat dan tepat berdasarkan besarannya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional dengan mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan (2). Ayat (1) menyebutkan selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Ayat (2) menjelaskan bahwa tanggung jawab pemerintah pusat dalam penyelenggaraan karantina wilayah dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak yang terkait. ”Begitu pun dengan kewenangan selain karantina wilayah yang menjadi domain serta rezim pemerintah pusat, yaitu kewenangan untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar adalah menjadi kewenangan atribusi pemerintah pusat,” kata Fahri menjelaskan. Kewenangan pemerintah pusat lainnya, lanjut dia, sesuai amanat UU No. 6/2018, khususnya ketentuan Pasal 59 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa pembatasan sosial berskala besar merupakan bagian dari respons kedaruratan kesehatan masyarakat. Dalam Ayat (3) menyebutkan bahwa pembatasan sosial berskala besar paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan/atau, pembatasan kegiatan ditempat atau fasilitas umum. Untuk pengaturan lebih teknis dan operasional atas ketentuan tersebut, kata dia, sesuai dengan UU Kekarantinaan Kesehatan, khususnya ketentuan Pasal 60 yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lenjut mengenai kriteria dan pelaksanaan karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan pembatasan sosial berskala besar diatur dengan peraturan pemerintah. Meski demikian, lanjut Fahri, dari segi yuridis, terdapat sedikit masalah teknis terkait dengan berbagai hal kebijakan yang akan diambil oleh Pemerintah. Hal ini karena kriteria dan tata cara pelaksanaan karantina di berbagai tingkatan itu masih belum memiliki payung hukum, seperti yang diperintahkan oleh UU itu sendiri, seperti peraturan pemerintah (PP). Menurut dia, sebaiknya Presiden secepatnya menetapkan PP tentang kriteria dan pelaksanaan karantina sebab merupakan aturan derivatif yang bersifat expressive verbis untuk secepatnya mengatasi keadaan darurat nasional saat ini. Dengan demikian, ada keseragaman dalam bertindak, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Setelah ada PP, kata Fahri, tidak ada lagi kepala daerah yang mengambil langkah serta menafsirkan situasi sendiri-sendiri terkait dengan pencegahan pandemi Covid-19. Karena situasi yang sudah sangat mendesak serta genting seperti ini, Fahri meminta Presiden secepatnya mengambil langkah serta merespons cepat dan tepat dengan menetapkan PP yang lebih operasional sesuai dengan amanat UU Kekarantinaan Kesehatan. ”Peraturan pemerintah ini untuk selanjutnya dapat digunakan untuk kepentingan karantina sesuai dengan pertimbangan yang terukur, baik secara nasional maupun pada wilayah-wilayah tertentu, sesuai dengan tingkat ancaman pendemi serta kriteria yang terukur,” kata Fahri. Pencegahan wabah ini, menurut dia, sedikit terlambat dan infrastruktur hukum vital sebagai alat rekayasa atau instrumen pengendali keadaan belum tersedia. Hal ini dikhawatirkan pola dan bentuk penanganan wabah ini nantinya menjadi sporadis dan tidak sistemik. Menurut Fahri, idealnya negara dalam menanganan Covid-19 harus terstruktur, sistematis, dan terkendali sesuai dengan kaidah-kaidah International Health Regulations (IHR) Tahun 2005 tertanggal 15 Juni 2007 yang ditetapkan oleh Sidang Majelis Kesehatan Dunia mengenai kemampuan sistem surveilans epidemiologi. Ia percaya bahwa secara mitigatif Presiden telah mempunyai sejumlah rencana cadangan untuk mengendalikan serta mengatasi keadaan ini beberapa waktu ke depan. Atas dasar itulah dia berharap PP bisa segera keluar dalam minggu ini agar berbagai hambatan yang potensial terjadi dapat diminimalisasi sedemikian rupa, dan dipastikan bahwa negara harus hadir untuk melakukan berbagai tindakan di semua aspek kehidupan rakyatnya. (tim/fin/ful)

Tags :
Kategori :

Terkait