TEMANGGUNG – Kabupaten Temanggung selama ini dikenal sebagai salah satu wilayah penghasil komoditas tanaman tembakau dengan kualitas terbaik di dunia. Namun, tak banyak yang tahu persis bagaimana sejarah dan cikal bakal tembakau mampu menjadi soko guru utama pertanian di daerah ini.
Berikut ini sedikit informasi yang berhasil dihimpun oleh magelangekspres.com. Berdasarkan pendekatan historis, cerita turun-temurun dan pendekatan fakta di lapangan, sosok yang pertama kali merintis budidaya tembakau hingga menjadi komoditas andalan petani di Kabupaten Temanggung dan seantero Kedoe Raya pada umumnya adalah Ki Ageng Makukuhan.
Beliau merupakan salah satu tokoh muslim yang didaulat oleh Sunan Kalijogo kala itu untuk menyebarkan ajaran Islam di daerah yang saat ini kita kenal sebagai “Sabuk Gunung” meliputi Gunung Sumbing, Sindoro, dan Prau.
Hal ini diperkuat dengan bukti tilas sejarah berupa Makam Ki Ageng Makukuhan. Meski kebenaran dimana sejatinya beliau dimakamkan belum terungkap, namun di Kabupaten Temanggung sejauh ini terdapat lokasi yang diyakini sebagai petilasannya. Yakni di puncak Gunung Sumbing, Desa Wonosari Kecamatan Bulu, dan di Desa/Kecamatan Kedu.
Kepala Desa Wonosari, Kecamatan Bulu, Agus Parmuji menerangkan, Ki Ageng Makukuhan merupakan utusan Kanjeng Sunan Kalijogo yang diperintahkan menyebarkan agama Islam di wilayah Sabuk Gunung yang melingkupi Kedoe Raya lewat jalur pertanian dan seni.
“Khusus untuk pertanian, tembakau menjadi salah satu tanaman andalan yang dibawa untuk diperkenalkan kepada para petani di daerah ini. Bahkan, kabarnya benih tembakau yang dibawa oleh Ki Ageng Makukuhan merupakan pemberian langsung dari Sunan Kudus,” jelasnya, Rabu (3/8/2022).
Dari jejak sejarah inilah, tak heran apabila sektor pertanian menjadi soko guru atau pondasi utama masyarakat di wilayah Kedoe Raya sampai detik ini. Terlebih komoditas tembakau yang mendapat julukan sebagai “Emas Hijau” karena bernilai ekonomis sangat tinggi.
Bahkan, lanjut Agus, terdapat cerita terkiat asal nama tembakau itu sendiri. Dikisahkan, tembakau pada dasarnya berasal dari kata “Tambaku” yang dalam bahasa Jawa memiliki arti harfiah “Tombo” atau obat.
“Saat proses penyebaran agama di wilayah Kedoe Raya pada waktu itu, kondisi tanah di pegunungan Sumbing, Sindoro, dan Prau sangat gersang. Tak ada satupun tanaman yang mampu tumbuh secara baik. Hingga akhirnya Ki Ageng Makukuhan membawa bibit tembakau untuk ditanam di lahan-lahan kritis. Hasilnya tembakau mampu menjadi tombo atau obat atas keterpurukan ekonomi petani saat musim kemarau mengingat nilai jual tembakau yang sudah sangat tinggi di masa lalu,” ulasnya.
Dari sekelumit sejarah itulah, tembakau tak hanya dianggap sebagai tanaman biasa saja. Akan tetapi juga memiliki jati diri, nilai sejarah, kearifan lokal, hingga sisi budaya tak hanya di wilayah Kedoe Raya saja, namun juga bangsa Indonesia.
Terlebih, fakta menunjukkan bahwa perputaran ekonomi dari bisnis komoditas tembakau tidak bisa dianggap remeh karena terbukti berhasil menyerap jutaan tenaga kerja hingga pemasukan kas negara hingga mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun.
“Apalagi hanya tembakau satu-satunya tanaman yang dapat tumbuh secara baik serta memiliki nilai jual sangat tinggi saat masuk musim kemarau dimana banyak tanah di lahan tanam tengah dalam kondisi gersang mengingat tembakau tidak memerlukan banyak air pada proses pertumbuhannya,” pungkasnya. (riz)