Butuh lima tahun untuk membangun kembali Pasar Rejowinangun. Selama itu pula, ratusan pedagang direlokasi di Pasar Penampungan, Magersari.
Meski demikian, banyak pedagang yang memilih hengkang dan membuka kiosnya di temapt lain.
BACA JUGA:Jejak Sejarah Tradisi Grebeg Besar Masyarakat Cacaban, Ungkapan Rasa Syukur Setelah Wabah Penyakit
Bangunan baru Pasar Rejowinangun kemudian diresmikan pada akhir 2013.
Kendati dengan konsep lebih modern, bertingkat, lorong luas, kios tertata nyatanya tak otomatis membuat pasar bangkit.
Subekti (64) menghela napas panjang. Pasar Rejowinangun, yang jadi pengharapan warga se eks Karesidenan Kedu, sekarang lebih seperti hidup segan, mati pun tak mau.
"Orang-orangnya nggak sebanyak dulu. Yang dulu mangkal becak, sekarang banyak yang kerja serabutan. Angkot juga hampir nggak ada," ujar pedagang bumbu dapur itu.
BACA JUGA:Kilas Sejarah Gundik di Magelang, Kisah Dibalik Berdirinya Panti Asuhan Pa van der Steur
Banyak yang beranggapan, dua hal sebagai biang penyebab sepinya pasar.
Pertama, proses pembangunan yang terlalu lama. Selama lima tahun, para pedagang terpaksa menyebar ke tempat lain.
Banyak yang sudah terlanjur nyaman di lokasi baru atau pindah profesi. Konsumen pun menemukan pasar alternatif yang lebih mudah dijangkau.
Beberapa pedagang Pasar Rejowinangun Kota Magelang mencoba menyelamatkan barang-barang usai kebakaran terjadi pada Kamis, 26 Juni 2008 silam-MASHANAFI-WORDPRESS
BACA JUGA:Daftar Bangunan Bersejarah di Magelang yang Kini Dijadikan Sekolah
Kedua, munculnya pasar modern, minimarket dan supermarket di sepanjang Alun-alun hingga lokasi Pasar Rejowinangun.
Tak terkecuali munculnya mall pertama di Magelang yang menawarkan kenyamanan, efisiensi, dan suasana berbelanja yang berbeda.
"Masyarakat sekarang maunya praktis. Kalau ke pasar harus jalan, ribet parkir, terus harus nawar pula. Di toko modern kan tinggal ambil, bayar, pulang," kata Supriyanto (60), warga Kedungsari.