CILACAP, MAGELANGEKSPRES.ID - Sariman (48) memilih duduk di bawah pohon sengon di tepi jalan tanah Cibeunying. Panas siang yang menyeruak tidak menggeser posisinya. Dari titik itulah ia dapat melihat seluruh pergerakan petugas yang menyisir tebing dan puing longsor.
Setiap ketukan sekop dan suara komando menjadi tanda yang ia harapkan sejak hari pertama bencana.
Pandangan matanya sesekali bergerak ke lereng yang terbelah. Tatapannya mengikuti petugas yang berkumpul, lalu kembali menyebar ke berbagai arah.
BACA JUGA:Pencarian Korban Longsor Desa Cibeunying Cilacap, Alat Berat Kembali Dikerahkan
Dalam momen seperti itu, napasnya berubah pendek. Tubuhnya sedikit condong ke depan, seolah ingin berada lebih dekat pada informasi apa pun yang muncul dari tumpukan tanah.
"Napas saya berubah kalau dengar kabar ada yang ditemukan. Doa saya satu, semoga istri dan dua anak saya segera ketemu," ucapnya.
Istrinya, Nina. Dua anaknya, Fani dan Fatin. Ketiganya berada di rumah saat longsor menerjang Dusun Cibeunying. Sejak hari itu, belum ada informasi pasti tentang keberadaan mereka.
BACA JUGA:Hari Ketiga Pencarian Korban Longsor di Desa Cibeunying Cilacap, 6 Warga Meninggal Dunia
Sariman datang setiap pagi dan pulang menjelang malam. Ia menumpang di rumah saudaranya yang jaraknya lebih dekat dengan titik bencana.
Setiap hari, ia berdiri pada lokasi yang sama sambil menunggu petugas menyampaikan perkembangan pencarian.
Ia masih mengingat telepon dari keponakannya di Palembang. Dua tahun terakhir ia bekerja sebagai buruh bangunan di kota itu.
BACA JUGA:Enam Korban Longsor Majenang Cilacap Ditemukan, Semuanya Meninggal Dunia
Telepon yang masuk pada Kamis malam membuat tubuhnya bergetar. Keponakannya meminta ia segera pulang karena desanya diterjang longsor.
"Saya langsung berangkat. Sampai desa sekitar jam dua tiga puluh pagi. Pas lihat lokasi, langsung bingung," ujarnya.
Tanah menutup rumahnya. Jalan kampung berubah menjadi alur lumpur. Warga berkumpul sambil menyebut nama tetangga yang belum ditemukan.