86 Persen Guru Tak Kenal Aplikasi, Potensi Pemborosan Subsidi Kuota
MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Masih banyak guru yang tidak mengenal aplikasi di kuota belajar yang diberikan pemerintah. Karenanya, sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) harus kembali ditinjau ulang. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melakukan survei pada 2-3 Oktober. Hasil survei menyebutkan masih banyak siswa dan guru yang tidak mengenal aplikasi yang bisa digunakan dengan bantuan Kuota Belajar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Fahriza Marta Tanjung mengatakan survei memperlihatkan 86,2 persen dari 116 guru tidak mengenal aplikasi agama Islam "Aminin" yang ada di Kuota Belajar. "Bahkan pada siswa persentasenya lebih besar lagi sekitar 91,2 persen dari 295 siswa tidak mengenal aplikasi Aminin. Jadi kita bisa berkesimpulan bahwa aplikasi ini kurang dikenal baik pada guru maupun siswa," katanya dalam konferensi pers virtual, Minggu (4/10). Dikatakannya, berdasarkan survei tersebut, aplikasi yang paling sering digunakan guru agama untuk pendidikan agama Islam adalah Youtube, WhatsApp dan Google Classroom. Sedangkan pada siswa aplikasi yang biasa digunakan adalah WhatsApp, Google Classroom, Youtube, dan aplikasi Al Qur’an serta Hadits. Demikian juga terhadap aplikasi pembelajaran bahasa Inggris yang dapat digunakan di bantuan kuota data Kemendikbud. "Dari 80 guru yang disurvei untuk topik itu aplikasi Duolingo menjadi yang paling dikenal. Sebanyak 22,6 persen guru mengenal aplikasi tersebut. Sedangkan aplikasi Bahaso dikenal oleh 16,7 persen guru, 11,9 persen untuk aplikasi Birru dan 14,3 persen untuk aplikasi Cakap," bebernya. Meski mengenal, namun aplikasi Duolingo hanya digunakan oleh 7,1 persen guru. Sebanyak 13,1 persen yang mengaku kadang-kadang dan 79,8 persen mengatakan tidak pernah memakainya. Hasil survei terhadap siswa juga menunjukan hal serupa. Sebanyak 560 siswa yang menjadi responden 28,9 persen mengenal Duolingo dibandingkan 17,7 persen untuk aplikasi Bahaso, 8,0 persen untuk Birru dan 15,4 persen untuk Cakap. "Hanya 7 persen dari siswa mengaku sering menggunakan Duolingo, 16,8 persen kadang-kadang dan 76,3 persen tidak pernah memakainya sama sekali," ungkapnya. Survei itu menemukan aplikasi yang sering digunakan guru untuk pembelajaran Bahasa Inggris adalah aplikasi pesan seperti WhatsApp, aplikasi ruang kelas, aplikasi video, aplikasi kamus berbahasa Inggris dan aplikasi konferensi video. Sedangkan untuk siswa dalam pembelajaran bahasa Inggris, aplikasi yang sering dipakai adalah aplikasi pesan, penyimpanan video, ruang kelas, kamus bahasa Inggris dan aplikasi konferensi video. "Melihat hasil survei, FSGI berkesimpulan masih ada aplikasi di luar rujukan Kuota Belajar lebih dikenal dan lebih banyak digunakan guru dan siswa," katanya. FSGI juga menilai tingkat pengenalan dan penggunaan yang rendah untuk aplikasi pembelajaran menunjukkan penggunaan aplikasi bukanlah perangkat utama dalam pembelajaran online atau daring. "Rendahnya tingkat pengenalan dan penggunaan juga berpotensi mengakibatkan rendahnya serapan jumlah kuota yang sudah dialokasikan pada kuota belajar," ujarnya. Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pengawas FSGI Retno Listyarti mendorong Kemendikbud untuk melakukan evaluasi menyeluruh terkait PJJ fase kedua. "Kami menilai Kemendikbud bersama dinas-dinas pendidikan perlu melakukan evaluasi dari PJJ fase kedua ini, mulai dari perencanaan, implementasi dan perlu mengambil sampel tidak hanya pada sekolah dan guru tapi dari orang tua dan anak, sebagai pengguna pelayanan PJJ," katanya. Menurutnya Kemendikbud perlu melakukan sosialisasi dan diseminasi secara masif tentang panduan PJJ sebagaimana yang tertuang dalam Surat Edaran Sekjen Kemendikbud Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran COVID-19. Hal itu harus dilakukan agar aturan tersebut dipahami oleh seluruh Dinas Pendidikan dan sekolah dan guru. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang pendidikan itu juga merekomendasikan agar Kemendikbud mendorong Dinas Pendidikan di daerah untuk menerapkan kurikulum khusus atau Kurikulum 2013 yang disederhanakan. "Tujuannya membantu guru karena sekolah tidak berani mengambil keputusan, kepala sekolah tidak berani mau pakai kurikulum yang mana lantaran Kemendikbud memilihkan tiga, sebaiknya Kemendikbud tentukan satu saja," tegasnya. Dikatakannya, perencanaan yang tidak jelas dapat berdampak pada pelaksanaan PJJ yang tidak mengalami perbaikan. Imbasnya, sekolah dan guru akan mengalami kebingungan yang akan berdampak juga kepada anak didik. Sementara itu, sebelumnya pemerhati pendidikan dari Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji mengatakan bantuan kuota internet dari Kemendikbud terkesan sebagai penggiringan peserta didik untuk berlangganan aplikasi berbayar yang bisa diakses dari kuota belajar. Dikatakannya, dari dua jenis kuota yang diberikan yaitu kuota umum dan kuota belajar, porsi kuota belajar jauh lebih besar, namun hanya bisa digunakan untuk akses aplikasi dan website khusus yang disediakan Kemendikbud. Sayangnya, untuk bisa mendapatkan materi pembelajaran dari aplikasinya harus bayar langganan. "Kalau lihat kuota belajar ini diberikan pada aplikasi-aplikasi berbayar, ada ruangguru, sekolah.mu, quipper, zenius, ini kan berbayar semua. Jadi ada kesan pemerintah seperti menggiring orang berlangganan aplikasi ini," ujarnya. Dia bahkan menilai, pemerintah seakan menjadi makelar dari pemilik aplikasi-aplikasi belajar itu dan 'memaksa' peserta didik berlangganan. Sehingga bantuan kuota internet ini hanya seperti gimik belaka. Terlebih lagi dengan porsi kuota umum yang sedikit, justru semakin menjadi tidak efektif. Ujung-ujungnya peserta didik malah membeli kuota tambahan sendiri. "Pemerintah seperti 'nih pulsanya kita kasih tapi langganan yaa', jadi seakan pemerintah seperti makelar, calo. Ini tidak etis untuk solusi yang diberikan," tegasnya. Pada akhirnya, kebijakan bantuan kuota menjadi tanda tanya besar. Alasannya mengapa penerima manfaat digiring berlangganan aplikasi ini, padahal ekonomi sedang susah pada masa pandemi COVID-19. "Jadi ada tanda tanya besar kenapa digiring berlangganan aplikasi ini, kehidupan ekonomi susah kok malah digiring," pungkasnya.(gw/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: