Klaster Pendidikan Resmi Dicabut dari RUU Ciptaker

Klaster Pendidikan Resmi Dicabut dari RUU Ciptaker

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama Pemerintah sepakat mengeluarkan klaster Pendidikan dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Hal tersebut diputuskan dalam Rapat Panita Kerja (Panja) RUU Ciptaker di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Kamis (24/9/2020). Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Supratman Andi Agtas mengatakan, bahwa salah satu klaster dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang menjadi polemik adalah klaster pendidikan. Untuk memutus keresahan tersebut, panitia kerja Cipta Kerja akan mencabut klaster itu dari RUU tersebut. \"Kami dengan pemerintah telah memutuskan bahwa seluruh yang terkait dengan UU klaster pendidikan akan ditarik seluruhnya dan kembali kepada UU eksisting,\" kata Supratman dalam webinar, Kamis (24/9/2020). Dengan dicabutnya klaster pendidikan dalam RUU Ciptaker, Supratman berharap tak ada lagi perdebatan soal klaster tersebut. Ia bilang beberapa pihak kini sedang memperdebatkan soal nirlaba dan badan hukum pendidikan. \"Ini yang lagi rame sekarang karena perdebatan antara nirlaba dan badan hukum pendidikan dalam rangka untuk mencari keuntungan karena mekanisme perizinannya juga dikenal sebagai perizinan berusaha,\" ujarnya. Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kemenko Perekonomian Elen Setiadi mengatakan, pemerintah mengusulkan empat undang-undang (UU) yang khusus berkaitan dengan pengaturan di dalam sektor pendidikan dan kebudayaan untuk dicabut dari RUU Ciptaker. \"Pemerintah dalam hal ini yang diwakili oleh Menko Perekonomian, kemudian Kemendikbud, mengusulkan kepada Panja untuk mencabut ketentuan mengenai empat UU yang diatur di dalam RUU Cipta kerja untuk dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja,\" ujar Elen saat membacakan pandangan dari pemerintah. Adapun empat UU yang dimaksud yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU Nomor 14 Tahun 2005 tetang Guru dan Dosen, dan UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. \"Dengan dicabutnya klaster pendidikan di RUU Omnibus Law Ciptaker itu, maka otomatis mengembalikan pengaturan ke undang-undang yang lama,\" imbuhnya. Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya mengatakan, dicabutnya klaster pendidikan atas aspirasi dari masyarakat. Sebab, menurutnya, banyak organisasi kemasyarakatan serta tokoh yang meminta klaster tersebut dihilangkan dari Omnibus Law. \"DPR tentu mendengarkan aspirasi dari banyak ormas dari banyak tokoh yang meminta klaster itu di-take out,\" ujar Willy. Senada, Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Nizam mengatakan, bahwa dicabutnya klaster pendidikan dari RUU Ciptaker melalui pertimbangan matang dari para pemangku kepentingan serta masukan dari berbagai pihak. \"Banyak yang memengaruhi keputusan tersebut. Salah satunya berdasarkan keinginan masyarakat dan amanah UUD,\" kata Nizam. Nizam menjelaskan, penataan pendidikan nasional selanjutnya akan dibahas dalam Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). \"Pendidikan sebagai public goods tentu memerlukan penataan tersendiri yang lebih komprehensif lewat RUU Sisdiknas,\" ujarnya. Sementara itu, Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda menyambut positif keputusan Badan Legislasi (Baleg) DPR yang mengeluarkan klaster Pendidikan dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). \"Kami menyampaikan terima kasih kepada Baleg DPR dan pemerintah yang mendengarkan aspirasi kami untuk mengeluarkan kluster pendidikan dari pembahasan RUU Ciptaker, karena kami meyakini banyak mudharat daripada manfaatnya ketika penyelenggaraan pendidikan diatur dalam RUU Ciptaker,” kata Syaiful Huda. Huda menjelaskan, prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan yang diatur dalam RUU Ciptaker dinilai banyak kalangan kontraproduktif bagi ekosistem pendidikan di Tanah Air. Sejumlah poin dalam RUU Ciptaker menuai kritik, mulai dari penghapusan penghapusan persyaratan pendirian perguruan tinggi asing di Indonesia dan penghapusan prinsip nirlaba dalam otonomi pengelolaan perguruan tinggi. Selain itu juga, penghapusan kewajiban bagi perguruan tinggi asing untuk bekerja sama dengan perguruan tinggi nasional, kata Huda, menjadi contoh kecil bagaimana RUU Ciptaker akan menjadikan Indonesia sebagai pasar bebas pendidikan. \"Kami tidak bisa membayangkan jika RUU Ciptaker klaster pendidikan benar-benar disahkan. Pasti banyak kampus-kampus di Indonesia yang akan gulung tikar karena kalah bersaing dengan berbagai perguruan tinggi asing yang lebih mapan,\" ujarnya. Sebelumnya, Beberapa pihak menilai klaster pendidikan sengaja disisipkan dalam RUU Ciptaker ini sebagai upaya komersialisasi pendidikan. Padahal, pendidikan adalah kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Apalagi, dalam draf RUU Ciptaker adalah kewajiban berusaha yang justru bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Draf RUU ini mewajibkan setiap upaya penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat. Bila tidak punya izin usaha, akan dikenakan sanksi pidana kurungan maksimal 10 tahun dan denda satu miliar rupiah. Lalu ada juga pasal dalam RUU Ciptaker yang mewajibkan pengajar bersetifikasi sedangkan pengajar asing tidak diberlakukan kewajiban serupa. Tak mau berlarut-larut memantik perdebatan, Panja Cipta Kerja bertekad bakal mencabut klaster pendidikan dari Omnibus Law. \"Hal ini telah menggeser politik hukum pendidikan menjadi rezim perizinan berusaha melalui penggunaan terminologi izin berusaha pada sektor pendidikan, yang sesungguhnya tidak berorientasi laba,\" kata Sekretaris Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Harianto Oghie. (der/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: