Nglukis Bareng Komunitas Catec di Taman Kali Progo Temanggung

Nglukis Bareng Komunitas Catec di Taman Kali Progo Temanggung

TEMANGGUNG, MAGELANGEKSPRES.COM-Gemericik aliran air Sungai Progo diiringi gesekan dedaunan yang tertiup angin sepoi-sepoi menambah kekhidmatan para seniman lukis saat menumpahkan kreativitasnya ke dalam media kanvas. Kombinasi warna-warni cat dengan sentuhan seni bernilai artistik tinggi tak henti membuat mata yang memandang takjub. Satu kekaguman dalam benak terdalam. Ternyata masih ada saja insan pelukis yang terus berkarya di tengah berbagai tantangan zaman. Kemajuan teknologi dan terjangan di masa pandemi nyatanya tak menyurutkan gejolak jiwa mereka untuk terus menari di atas kanvas putih. Itulah sedikit gambaran suasana yang terlihat saat para seniman lukis yang tergabung dalam Komunitas Cah Temanggung Creative atau Catec menggelar sebuah acara bertajuk Nglukis Bareng dengan tema utama “Crito Progo” dengan metode On The Spot (OTS) di area Taman Kali Progo Kecamatan Kranggan, Temanggung Minggu (20/2) pagi. Acara melukis bersama ini sangat berkesan bagi siapapun yang hadir, baik pengunjung maupun seniman itu sendiri. Pasalnya, lokasi yang dipilih tak lain merupakan tempat ikonik bersejarah karena pada zaman dahulu, era penjajahan kolonialisme Belanda, ribuan nyawa pejuang pribumi melayang sia-sia atas nama perlawanan memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Itulah mengapa tema “Crito Progo” dipilih dalam acara tersebut. Ketua Sanggar Catec, Witaso Saputro menuturkan kegiatan melukis bareng ini digelar sejatinya sebagai wadah aplikasi dari ekspresi para seniman lukis yang sudah cukup lama mandeg akibat dampak dari datangnya pandemi Covid-19 yang lumayan panjang. Ini juga sebagai ganti dari acara pameran hasil karya lukis yang sebelumnya rutin digelar. “Selama pandemi, ajang para seniman dalam memamerkan karya mereka otomatis berhenti. Maka dari itu, inilah waktu yang kami anggap tepat untuk kembali membangkitkan seni lukis melalui acara On The Spot di Area Taman Kali Progo,” ungkapnya. Ia menambahkan, sedikitnya 30 pelukis dengan latar belakang berbeda, mulai guru seni, guru menggambar, pelajar, hingga seniman murni ikut ambil bagian dalam acara tersebut. Selain rentetan cerita sejarah pembantian selama perjuangan para pribumi di era penjajahan kolonialisme Belanda, lokasi ini juga dipilih karena beragam alasan. Mulai alam yang teduh, banyak ikon seperti jembatan, sungai, Tugu Bambu Runcing, Makam Pahlawan Bambang Soegeng, hingga terdapat sebuah pesan yang tersirat. “Ada pesan khusus yang ingin kami sampaikan. Tempat ini adalah simbol sejarah perjuangan para pahlawan dalam melawan penjajah. Ya sama, acara ini juga simbol kebangkitan para seniman dalam melawan pandemi yang dianggap telah menjebak mereka dalam situasi hibernasi kreasi,” katanya. Selain karya seni OTS bertema alam Kali Progo di atas, anggota Komunitas Catec juga turut membawa serta hasil karya mereka yang lain untuk dipamerkan dan dijual kepada pengunjung dan siapa saja yang berminat. Ada lukisan bertema alam, budaya, dan sosok dalam beragam ukuran kanvas. “Kami sediakan galeri mini di sudut taman untuk menampung karya seni mereka. Selain dipamerkan, juga kita jual kepada siapa saja yang berminat,” imbuhnya. Dengan acara ini, Witarso berharap agar kalangan masyarakat luas, khususnya remaja dan pelajar semakin terlecut untuk dapat ambil bagian seni melukis. Hal ini dikarenakan seseorang membutuhkan wadah untuk menumpahkan kreatifitas, ekspresi, hingga emosi yang ditumpahkan dalam warna-warni bernilai artistik. Pihaknya juga mengaku akan terus menggiatkan acara serupa di berbagai lokasi wisata lain yang ada di Kabupaten Temanggung. Alasannya, ini juga dapat menjadi ajang promosi pariwisata minat khusus. “Melukis itu harus dalam kondisi mood yang bagus, kalau tidak ya sulit. Kami mengajak para pemuda untuk bergabung dalam komunitas ini. Masa depan pelukis ke depan masih cerah, sekarang saja dari 50 anggota kita, ada 15 sampai 20 yang menggantungkan hidup dari melukis,” bebernya. Sementara itu, Faisal (54), salah seorang seniman lukis yang juga menjadi anggota Komunitas Catec mengaku dirinya sudah lama merindukan gelaran seperti ini. Menurutnya, melukis dengan tajuk OTS memiliki tantangan sekaligus sensasi tersendiri. Tak hanya berkejaran dengan batas waktu, ia juga harus cepat dalam menangkap objek riil tertentu sebelum ditumpahkan dalam selembar kanvas. Ia menyebut, area Taman Kali Progo ini sangat menarik. Selain alam yang indah, juga memorable lantaran memiliki nilai historis yang tinggi bagi masyarakat Temanggung. “Tak hanya sensasi OTS saja. Banyak memori yang melintas di pikiran saya saat memulai melukis tadi. Sungai Progo yang mengalir sampai Yogyakarta ini dulunya memiliki tepian yang lebar. Tetapi sekarang mulai menyempit. Saya hanya ingin tempat ini dijaga baik-baik. Nantinya, karya lukisan ini dapat menjadi dokumen seni dalam mengabadikan suasana tempat ini,” harapnya. Sembari melukis, pria yang kini menetap di Bumi Prayudan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang itu bercerita bahwa menjadi pelukis adalah pilihan dan menjadi tempatnya menggantungkan hidup dengan menjual hasil karya yang dihasilkan. Tak hanya bakat seni yang mengalir deras, seni juga dianggap wadah tepat dalam menumpahkan kreasi, intuisi, serta emosi dengan energi positif. “Sebenarnya banyak kalangan muda yang memiliki bakat serta darah seni yang kuat. Hanya saja mereka belum ada yang memfasilitasi dalam satu wadah khusus untuk berkomunikasi. Akhirnya, mereka memamerkan dan menjual karya lewat sarana media sosial yang memang sangat efektif di era moderen seperti sekarang. Istilahnya galeri maya. Pesan saya, pelukis bisa jadi profesi menjanjikan asal kita senantiasa maksimal dalam hal materi, timming, dan objek. Pangsa pasar masih luas. Tinggal main range harga saja, mulai ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah,” pesannya. Ada satu pemandangan menarik di sela keseriusan peserta nglukis bareng ini. Terdapat salah seorang seniman yang tengah sibuk menggambar sesosok wajah yang tak lain adalah Wakil Bupati Temanggung saat ini, Heri Ibnu Wibowo. Uniknya, ia menggunakan media pewarna berupa bubuk kopi. Adalah Tri Raharjo. Ia mengungkapkan belum lama mencoba menggunakan kopi sebagai media pewarnaan lukisan di atas kanvas. Selain membantu mempromosikan komoditas kopi asal Temanggung yang sudah mendunia, terdapat filosofi yang cukup dalam. Yakni “Penikmat kopi biasa mengecap rasa pahit, namun dengan sentuhan seni tinggi, ampasnya pun bisa menjadikannya manis”. “Ide awal menggunakan kopi sebagai pewarna adalah dari anak saya. Meski terlihat mudah, tetapi sebenarnya ada kesulitan khusus. Yaitu masalah teknik karena tidak bisa hanya dicampur air, harus ada perekat khusus agar gambarnya tahan lama,” jelasnya. Sementara itu, Wabup Temanggung, Heri Ibnu Wibowo yang juga turut hadir dalam rangka melihat hasil karya seniman asli putera daerah itu mengaku terkesima dengan lukisan-lukisan yang dihasilkan. Ia berharap ke depan semakin banyak bermunculan talenta seniman lukis muda yang akhirnya dapat membantu memajukan nama Kabupaten Temanggung melalui karya-karya mereka. “Ini adalah momentum kebangkitan para seniman yang telah lama tertidur akibat pandemi. Untuk itu, sudah seharusnya pemerintah senantiasa mendukung semangat mereka dalam menggiatkan seni. Syukur dapat membantu meningkatkan sisi ekonomi, termasuk inspirasi bagi generasi penerus di masa mendatang,” pungkasnya. (rizal ifan chanaris)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: