Ribuan Warga Kedu Hadiri Sadranan Eyang Demang

Ribuan Warga Kedu Hadiri Sadranan Eyang Demang

TEMANGGUNG, MAGELANGEKSPRES.COM Unik dan epic. Itulah kesan yang pertama kali kita rasakan saat menyaksikan ribuan orang mulai usia anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua tumpah ruah memenuhi areal pemakaman Eyang Demang di Dusun Demangan, Desa Candimulyo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jumat (25/3) pagi. Mereka berbondong-bondong mendatangi pemakaman sembari membawa beragam olahan makanan untuk kemudian didoakan dan dimakan secara bersama-sama. Momen tersebut merupakan sebuah tradisi turun-temurun warga masyarakat setempat dan sudah ada sejak berabad-abad silam yang dinamai “Sadranan Eyang Demang”. Menurut Ramidi (70), sang juru kunci pesarean Eyang Demang, prosesi sadranan seperti ini merupakan agenda rutin yang diperingati masyarakat setempat setiap setahun sekali menjelang datangnya bulan suci Ramadan. “Tradisi Sadranan Eyang Demang sudah menjadi tradisi rutin masyarakat di dusun ini sejak berabad-abad silam. Yang datang untuk nyadran ini jumlahnya mencapai ribuan orang. Baik warga setempat, kerabat, hingga warga dari luar desa maupun kota yang leluhurnya dimakamkan di pesarean ini,” jelasnya. Lanjutnya, lokasi ini dipilih selain merupakan tempat pemakaman umum bagi warga masyarakat setempat, juga menjadi pesarean Raka dan Rayi Eyang Demang termasuk para sahabat beliau yang tak lain adalah pepunden wilayah tersebut sehingga keberadaannya sangat dihormati. Tak seperti prosesi nyadran di tempat lain, terdapat berbagai keunikan yang melingkupi Sadranan Eyang Demang. Antara lain setiap keluarga diwajibkan menggunakan daging kambing dalam masakan yang mereka bawa serta mereka dilarang keras mencicipi makanan yang dimasak sebelum pembacaan doa dan tahlil. Lanjut Ramidi, mencicipi makanan sebelum didoakan merupakan sebuah pamali yang sudah ada sejak tradisi nyadran pada zaman dahulu dan tidak ada satupun warga yang berani melanggar karena mereka percaya pada mitos yang berkembang. Yakni siapapun yang berani melanggar, diyakini akan tertimpa masalah dan musibah tertentu. “Masing-masing keluarga yang ikut sadranan membawa berbagai macam masakan seperti ingkung ayam, daging kambing, nasi tumpeng, berbagai masakan lokal, hingga beragam jajanan pasar. Semua dimasukkan ke dalam bucu-bucu bambu dan sesuai kepercayaan, semuanya pantang dicicipi sebelum digelarnya doa bersama serta tahlil. Leluhur kami mengatakan, kalau mau memberikan makanan kepada orang tua (leluhur) pamali kalau dicicipi dulu. Ini masalah etika,” urainya. Pemandangan semakin menarik kala ribuan warga masyarakat tersebut berjajar dalam barisan panjang untuk mengantre memasuki area pemakaman sembari membawa berbagai jenis makanan. Rombongan mereka dipimpin oleh para tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta pemangku pemerintah desa setempat yang berdandan dengan kostum adat Jawa tradisional lengkap. “Setelah arak-arakan, warga menggelar tahlil dan doa bersama yang diakhiri dengan ritual kembul bujono alias makan bersama. Tak hanya mendoakan arwah para leluhur. Acara ini dimaksudkan untuk memohon keselamatan, berkah, dan rejeki melimpah dari Tuhan Yang Maha Esa sekaligus menjalin kerukunan warga,” pungkasnya. (riz)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: