Terpenting Reformasi Tata Kelola BPJS Kesehatan

Terpenting Reformasi Tata Kelola BPJS Kesehatan

MAGELANGEKSPRES.COM,JAKARTA - Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 menuai kontroversi. Sebab Perpres tersebut kembali menaikan iuran BPJS Kesehatan yang ditelah sebelumnya dibatalkan Mahkamah Agung (MA). Hal terpenting agar keuangan BPJS Kesehatan tak mengalami defisit adalah dengan mereformasi tata kelola. Perbaikan tata kelola secara keseluruhan akan lebih baik dibanding dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan yang makin menambah beban masyarakat di masa sulit akibat pandemi COVID-19. \"Persoalan mendasar dari BPJS Kesehatan adalah perlunya perbaikan manajemen dan tata kelola secara keseluruhan yang mestinya dibenahi, bukan menambah masalah baru. Dengan menaikkan iuran selama ini sudah terjadi beberapa kali penyesuaian tapi nyatanya masih terus defisit,\" kata anggota Komisi IX DPR Alifudin, Kamis (14/5). Dijelaskannya, Perpres No 64 tahun 2020 yang diteken Presiden Joko Widodo menuai polemik karena kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Walaupun dilakukan secara bertahap dan sebagian disubsidi pemerintah. Hal itu jelas melukai hati rakyat, sebab sebelumnya, MA telah membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang kenaikan BPJS Kesehatan dengan putusan MA Nomor 7_P/HUM/2020. Tidak sampai di situ, pemerintah juga diwajibkan mengembalikan kelebihan bayar iuran peserta. \"Kembali, Perpres nomor 64 tahun 2020 sangat mengecewakan meskipun ada bahasa subsidi di sana. Namun, tetap saja substansinya sama yaitu kenaikan iuran dan ini harus kita tolak,\" kata politisi PKS itu. Bahkan lanjut Alifudin, keputusan MA yang sudah mengikat bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam pasal 34 Perpres Nomor 75 tahun 2019 yang bertentangan dengan UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. \"MA sendiri sudah menjelaskan dalam putusannya bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 2004. Kenapa masih ngotot ingin dinaikkan,\" tegasnya. Menanggapi kenaikan iuran, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan Perpres No 64/2020 bertujuan agar pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) tidak defisit pada tahun 2020. \"Proyeksinya kalau nanti Perpres 64 ini berjalan, kita hampir tidak defisit. Kurang lebih bisa diseimbangkan antara cash in dan cash out,\" katanya. Diterangkannya, BPJS Kesehatan menanggung tunggakan klaim ke rumah sakit untuk tahun anggaran 2019 yang dibebankan pada tahun 2020 sebesar Rp15,5 triliun. Dan kewajiban tersebut perlahan-lahan telah dilunasi hingga menyisakan utang yang jatuh tempo sebesar Rp4,8 triliun. \"Dengan adanya subsidi pemerintah kepada peserta mandiri kelas III yang dibayarkan di muka kepada BPJS Kesehatan sebesar RP3,1 triliun, utang jatuh tempo tersebut bisa segera diselesaikan,\" katanya. Dikatakannya, jika pemerintah tidak menerbitkan Perpres No 64/2020 yang memperbaiki struktur iuran peserta, dikhawatirkan bisa terjadi defisit keuangan pada BPJS Kesehatan yang akan berdampak pada keberlanjutan program JKN-KIS. \"Kalau tidak diperbaiki sturktur iuran sebagaimana keputusan seperti sekarang, itu akan terjadi potensi defisit. Dan tentu kita tidak ingin program ini tidak berkelanjutan,\" kata Fachmi. Fachmi juga mengatakan menerbitkan Perpres No 64/2020 menunjukkan pemerintah masih dalam koridor menjalankan putusan MA. \"Kalau kita melihat ada tiga opsi dari peraturan MA. Satu mencabut, opsi kedua mengubah, atau ketiga melaksanakan. Nah artinya Pak Jokowi masih dalam koridor, konteksnya adalah yang kedua mengubah. Dan mengubah ini masih sangat menghormati kalau compare ke Perpres 75,\" katanya. Jadi, kata Fachmi, tidak benar jika pemerintah tidak menghormati putusan MA. \"Kalau kita baca tekstual dan literal yang ada di peraturan MA itu \\\'clear\\\', pemerintah mencabut, mengubah, atau melaksanakan, dan itu masih dalam koridor,\" kata Fachmi. Fachmi juga menyebut Perpres No 64/2020 sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat yang disampaikan oleh DPR pada rapat kerja bersama sebelumnya. DPR menolak kenaikan iuran untuk peserta segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III sesuai dengan ketentuan Perpres 75 2019. DPR meminta iuran untuk peserta mandiri kelas III tetap Rp25.500. \"Permintaan (DPR) kemarin \\\'clear\\\' iuran peserta mandiri kelas III tetap Rp25.500, kalau angkanya Rp42 ribu itu pemerintah mensubsidi, terima kasih sekali pada Presiden yang telah memutuskan,\" katanya. Senada diungkapkan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani. Dia memprediksi kenaikan iuran akan memangkas defisit anggaran BPJS Kesehatan untuk tahun ini. “Kita bisa melihat perhitungan defisit BPJS akan dimungkinkan jauh lebih kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” katanya. Askolani menyatakan defisit BPJS Kesehatan berpotensi lebih kecil karena manajemen pengelolaan dan pendanaannya untuk tahun ini akan mengalami perbaikan. Askolani mengatakan jika manajemen BPJS Kesehatan telah diperbaiki dan defisit lebih kecil maka dapat membantu cashflow rumah sakit di seluruh Indonesia. Sehingga pelayanan kesehatan kepada masyarakat lebih maksimal. “BPJS akan sangat berkomitmen untuk membantu cashflow pelayanan rumah sakit di seluruh Indonesia,” ujarnya. Tak hanya itu, Askolani memastikan bahwa pihak Kementerian Kesehatan akan turut melakukan perbaikan terkait standar pelayanan dalam rangka bersinergi untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang lebih baik. “Dari Kementerian Kesehatan pun nantinya akan ada perbaikan mengenai standar pelayanan, yang tentunya arahnya untuk bisa mensinergikan memperbaiki pelayanan kesehatan ke depan,” katanya. Dia juga memastikan kenaikan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres 64/2020 telah mempertimbangkan putusan MA. “Penetapan dari Perpres 64/2020 ini sangat mempertimbangkan keputusan MA dan pemerintah sangat memahami,” tegasnya.(gw/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: