Lika-liku Pengawas Pemilu di Wonosobo, Ancaman Pembunuhan hingga Pembakaran Kantor
BUKU. Bawaslu Wonosobo gelar bedah buku Jejak Pengawasan Pemilu Wonosobo di Ruang Multimedia Arpusda Wonosobo.(foto : Agus Supriyadi/Wonosobo ekspres)--Magelangekspres.com
WONOSOBO, MAGELANGEKSPRES.DISWAY.ID- Umur pengawasan pemilu di Wonosobo sudah menginjak 20 tahun, Bawaslu terbitkan buku tentang Jejak Pengawasan Pemilu di Wonosobo. Dari pemilu periode 2004 hingga periode 2019. Buku tersebut diharapkan menjadi tambahan literasi kepemiluan di Wonosobo.
“Tidak mudah menjadi anggota Panwaslu di awal-awal reformasi. Selain sarana dan prasarana yang terbatas, kebijakan pengawasan juga belum stabil, terutama pada pemberian sanksi kepada pelanggar pemilu,” ungkap mantan anggota Panwaslu, Mahfudz Djunaedi, saat bedah buku Jejak Pengawasan Pemilu di Ruang Multimedia Arpusda Wonosobo, kemarin.
Bedah buku menghadirkan sejumlah narasumber, diantaranya mantan anggota Panwaslu dari berbagai periode yang masih hidup, kalangan akademisi, Kepala Arpusda Wonosobo dan kalangan media.
Menurut pria yang akrab dipanggil Pak Jun itu, dirinya menjadi terlibat dalam pengawasan pemilu di Wonosobo saat pilkada 2005, dan menjadi anggota Panwaslu selama 5 periode. Terkait dengan pengalaman menarik dalam proses pengawasan, diantaranya ancaman secara langsung oleh peserta pemilu, dari ancaman pembunuhan hingga ancaman membakar kantor Panwaslu.
“Saya pernah diancam akan dibunuh, dimasukkan ke karung dan dihanyutkan ke sungai oleh peserta pemilu bersama ratusan simpatisan yang mendatangi kantor. Namun, saya tidak takut dan tetap memberikan penjelasan secara profesional,” kenangnya.
Selain ancaman secara psikis, era awal pengawasan juga tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai, kantor yang sempit, gaji yang rendah serta alat-alat mobilitas yang kurang memenuhi syarat.
Hal sama disampaikan oleh mantan anggota Bawaslu, Amirudin SBT. Menurutnya, saat menjadi anggota pengawas pemilu di era pemilu tahun 2008, dirinya pernah dikepung oleh puluhan preman saat berkantor di Bawaslu. Bahkan ancaman pembunuhan dan teror kerap dilakukan di rumahnya.
“Saat menjadi anggota panwas, saya pernah dikepung oleh preman, waktu itu di kantor sendirian. Bahkan kantor akan dibakar, saya bisa lolos dari maut, setelah berhasil menghubungi anggota kepolisian yang juga menjadi anggota panwas,” katanya.
Amir yang sekarang menjadi Komisioner KPU Wonosobo itu, mengaku tidak gentar, meski ancaman dan teror kerap terjadi lantaran bersikap tegas terhadap para pelanggar pemilu kala itu, baik dari kalangan pejabat pemerintah maupun ASN.
Sementara itu, Ketua bawaslu, Sumali Ibnu Chamid mengatakan, pihaknya selama 6 bulan telah menyusun buku tentang jejak pengawasan pemilu di Wonosobo. Penyusunan buku tersebut hingga berhasil diterbitkan tidak mudah, sebab banyak dokumen dan juga saksi atau pelaku sejarah yang telah meninggal dunia atau tidak tinggal lagi di Wonosobo.
“6 bulan kita susun buku ini, dan tidak mudah mengumpulkan potongan secara yang tidak terdokumentasi dengan baik,” ucapnya.
Menurutnya bedah buka yang dilakukan untuk meminta masukan dari berbagai kalangan, terutama para pelaku sejarah dan juga masyarakat secara luas agar memperkaya isi buku, supaya buku tersebut diketahui secara luas oleh publik dan menjadi salah satu literasi kepemiluan di Wonosobo.
“Ada dinamika yang dihadapi, politik menjadi bagian kita dalam bernegara, kita berharap dengan berkaca dari sejarah melalui buku tersebut, ancaman ancaman terhadap pengawas tidak terjadi lagi di masa yang akan datang, sehingga kualitas pemilu menjadi lebih baik,” katanya.
Selain bedah buku, Bawaslu juga melakukan penandatangan kerjasama dengan Perpusda terkait bawaslu Book Corner, yang akan mempermudah masyarakat dan juga mahasiswa mencari literatur tentang kepemiluan di Wonosobo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: magelangekspres.com