Tantangan Pengawasan Pemilu di Wilayah Kecamatan Grabag

Tantangan Pengawasan Pemilu di Wilayah Kecamatan Grabag

Ketua Panwaslucam Grabag Kabupaten Magelang Turyono--

Oleh: Ketua Panwaslucam Grabag Kabupaten Magelang Turyono
 
 
MENJADI jajaran pengawas pemilu di setiap daerah mempunyai tantangan tersendiri. Baik dari kultur budaya maupun secara geografis kondisi alam. Termasuk di wilayah Kabupaten Magelang, khususnya di Kecamatan Grabag.
 
Kabupaten Magelang mempunyai bentangan alam yang luas dan terdiri dari dataran rendah serta dataran tinggi. Adapun Kecamatan Grabag dengan posisi paling ujung utara memiliki kondisi georafis pegunungan yang indah. Namun dibalik keindahan tersebut tentunya mempunyai potensi kerawanan akan bencana alam tanah longsor dan sejenisnya.
 
Luas kecamatannya 77,16 km2. Jumlah desanya 28. Yaitu,  Baleagung, Banaran, Banjarsari, Banyusari, Citrosono, Cokro, Giriwetan, Grabag, Kalikuto, Kalipucang, Kartoharjo, Ketawang, Klegen, Kleteran, Lebak, Losari, Ngasinan, Ngrancah, Pesidi, Pucungsari, Salam, Sambungrejo, Seworan, Sidogede, Sugihmas, Sumurarum, Tirto dan Tlogorejo.
 
Hal tersebut tentunya menjadi tantangan tersendiri, dikarenakan jarak dan medan yang terkadang tidak mudah. Mengingat kondisi tersebut, maka langkah pertama adalah melakukan pemetaan daerah rawan bencana. Dengan demikian maka jajaran pengawas pemilu khususnya Panwaslucam dan Panwasludes harus paham benar daerahnya.
 
Salah satunya agar dapat memberikan saran kepada KPU terkait dengan letak TPS di lokasi yang aman. Serta bila terjadi bencana yang tidak diinginkan dapat segera merelokasi TPS ke tempat lain.
 
Selain kondisi geografis, tentunya juga memperhatikan kondisi kultur budaya masyarakat setempat yang mayoritas adalah petani dan pedagang. Dalam hal ini terkait dengan sosialisasi pemilu, baik sosialisasi tahapan pemilu maupun regulasi pemilu. Sehingga, masyarakat memahami dan mengerti apa yang harus dilakukan untuk mendukung suksesnya Pemilu 2024. 
 
Dikarenakan masih banyak masyarakat yang tidak memahami tahapan pemilu, sehingga muncul semacam ketidakpedulian. Yang tentunya sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap proses pemilu di setiap tahapannya.
 
Selain memberikan pemahaman terhadap tahapan pemilu, perlu juga disosialisasikan terkait dengan regulasi atau atauran main pemilu. Yaitu, apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang termasuk pelanggaran. 
 
Hal itu menjadi sangat penting, karena sedikit banyak akan mengubah kultur atau pandangan masyarakat terhadap pemilu, yang mana secara umum pemilu selalu dikaitkan dengan transaksi pragmatis atau money politic dalam beragam wujud.
 
Bukan tidak mungkin dengan kondisi geografis pegunungan ditambah dengan kultur budaya masyarakat, budaya money politic tetap saja ada. Terlebih bila money politic berubah wujud dalam bentuk lain. Salah satunya adalah kontrak politik.
 
Kontrak politik tersebut dilakukan secara kolektif. Salah satu contohnya adalah pemberian tratak (tenda) untuk keperluan RT, RW atau Dusun. Dan yang lainnya seperti dijanjikan perbaikan jalan dan pembangunan infrastruktur lain.
 
Selain itu banyak masyarakat yang masih menggunakan paradigma lama. Yaitu, menghindari caleg perempuan. Hal itu tentunya dapat mempengaruhi tujuan demokrasi dalam hal ini adalah keterwakilan perempuan.
 
Menjadi tugas pengawas pemilu menyadarkan masyarakat tentang keterwakilan perempuan 30 % perempuan harus mempunyai andil untuk menyuarakan suara perempuan.
 
Untuk menanggulangi hal tersebut, maka perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat secara merata dan rutin, agar dapat merubah pandangan masyarakat tersebut.
 
Panwaslucam dan Panwasludes melakukan pemetaan dan materi sosialisasi dengan cara turut bergabung dalam kegiatan masyarakat, seperti acara RT, RW, Posyandu dan kegiatan lainnya yang berpotensi menggundang banyak massa. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: