Diskon Semu di E-Commerce: Etika yang Terkubur di Balik Label Harga
Salma Nur Hazimah, Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta-ISTIMEWA-MAGELANG EKSPRES
DALAM beberapa tahun terakhir, e-commerce telah menjadi pusat perdagangan terbesar di Indonesia, menampung jutaan UMKM dan ratusan juta konsumen. Namun di balik kemudahan transaksi digital, tumbuh praktik manipulatif yang semakin sulit dikendalikan: diskon semu dan iklan menyesatkan.
Fenomena ini terlihat ketika harga dinaikkan terlebih dahulu sebelum diberi label diskon besar-besaran, atau ketika produk diberi embel-embel “flash sale” padahal stoknya sangat terbatas atau bahkan tidak pernah tersedia.
Praktik yang sering disebut “fake discounting” ini tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga menimbulkan distorsi harga, mematikan persaingan sehat, dan merusak integritas perdagangan digital Indonesia.
BACA JUGA:Pemborosan yang Sah : Dilema Etika di Balik Kepatuhan Anggaran
Praktik ini jelas masuk ke dalam kategori consumer deception, yaitu ketika perusahaan secara sengaja menciptakan persepsi yang salah untuk mempengaruhi keputusan konsumen, sehingga melanggar hak mereka atas informasi yang benar dan pilihan yang rasional.
Jika dikaji dalam perspektif utilitarianisme, praktik diskon palsu tidak menghasilkan manfaat terbesar bagi masyarakat luas. Memang benar bahwa platform dan sebagian penjual menikmati peningkatan traffic serta transaksi jangka pendek, tetapi kerugian psikologis, finansial, dan persepsi publik jauh lebih besar.
Konsumen merasa tertipu, UMKM yang jujur kalah bersaing, dan pasar berubah menjadi arena penuh ilusi harga. Kerugian kolektif ini menunjukkan bahwa manfaat kecil yang diraih penjual tidak sebanding dengan kerusakan kepercayaan yang ditimbulkan terhadap jutaan konsumen.
BACA JUGA:Ketika Review Digital Jadi Ujian Etika Bisnis Modern, Rating 5 Bintang Fasilitas 2 Bintang
Dalam logika utilitarian, tindakan ini tidak etis karena total penderitaan melampaui manfaat. Pandangan ini menegaskan bahwa praktik pemasaran harus dinilai dari dampaknya pada kemampuan konsumen membuat keputusan rasional dan tidak terjebak dalam komunikasi menyesatkan.
Dari sisi deontologi, manipulasi harga merupakan pelanggaran terhadap prinsip moral dasar: kejujuran. Konsumen memiliki right to honest and fair communication, dan perusahaan memiliki kewajiban moral untuk menyediakan informasi yang benar dalam iklan, promosi, maupun penetapan harga.
Menjual barang dengan harga Rp150.000, lalu dinaikkan menjadi Rp300.000 dan diberi label “diskon 50%”, tidak hanya menipu, tetapi juga menghalangi konsumen melakukan penilaian rasional.
BACA JUGA:Filantropi vs Eksploitasi: Dilema Etika di Balik Citra CSR Korporasi
Pelanggaran ini masuk kategori deceptive pricing, yaitu ketika produsen menyembunyikan biaya atau memanipulasi kesan terhadap harga sehingga menciptakan false belief di benak konsumen.
Melalui Stakeholder Theory, jelas bahwa platform e-commerce tidak hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham, tetapi juga kepada konsumen, UMKM, regulator, dan masyarakat luas.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber: