"Sultan itu semacam membiayai. Itu karena batik cap memang turun temurun, karena sudah ada sejak lama," imbuhnya.
Menurut Sapto, ini adalah contoh bagaimana bisnis batik maju dapat mengikuti bisnis lain.
Prawirotaman menjadi pusat batik cap pada tahun 60-an, dengan hampir semua penduduknya bekerja pada bisnis ini.
Sebenarnya, setiap orang asli Prawirotaman pada saat itu mampu membatik.
Namun, seiring berjalannya waktu, batik cap mulai kehilangan popularitasnya.
Warga menjual alat batik pada awal 1980-an. Mereka mulai fokus pada bisnis perhotelan.
Ada orang yang mendirikan hotel pertama, Airlangga Hotel, dan semua orang tahu ini saat mendirikan hotel. Orang asing mulai datang ke sini karena batik tidak lagi laku.
Selain hotel, Prawirotaman juga memiliki kafe dan restoran yang mulai dibuka. Paket yang lengkap dari hotel, restoran, dan kafe membuat kawasan itu semakin disukai turis.
Ketika Prawirotaman berkembang menjadi menarik bagi turis asing dan wisatawan domestik, investor melirik.
Banyak bangunan di Prawirotaman kini dibeli oleh orang-orang luar seperti Surabaya dan Solo, serta warga asing yang tinggal di Indonesia, seperti Prancis.
suasana malam hari di cafe sekitar jalan prawirotaman yogyakarta--GOOGLE
Lihat turis asing hilir mudik di jalan Prawirotaman, makan di restoran, dan nongkrong di kafe-kafe.
Terutama di malam hari, banyak kafe yang menawarkan minuman beralkohol dan beer. Menu juga bergaya Barat.
Prawirotaman I memiliki jalanan depan yang dipenuhi oleh hotel dan toko-toko, sedangkan Prawirotaman II dan III memiliki pemukiman warga yang lebih jelas.