Sendratari Babad Mahardika Proses Kreatif Perlu Evaluasi

Sendratari Babad Mahardika Proses Kreatif Perlu Evaluasi

Budayawan dan juga guru Seni Budaya SMK Kota Magelang, Dwi Anugrah--

Hari jadi Kota Magelang ke-1.118 tahun 2024 pada Minggu, (28/4-2024) salah satu penampilan yang berbeda dari tampilan lainnya adalah Sendratari Babad Mahardika. Sendratari dengan sutradara Gepeng Nugroho tersebut melibatkan 250 penari, baik dari pelajar dan sanggar-sanggar di Kota Magelang

Sendratari yang mengisahkan awal berdirinya Kota Magelang sejak masa pemerintahan Mataram Kuno sekitar abad ke-9 M. Pada masa kerajaan Mataram Kuno dibawah kendali pemerintahan Sri Maharaja Rakai Watu Humalang, banyak terjadi kerusuhan sampai penjuru negeri yang disebabkan oleh ulah para perampok yang dipimpin.

Berbagai upaya untuk melenyapkan para perampok tersebut sudah dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan mengirimkan pasukan segelar sepapan ataupun dengan kesigapan pasukan telik sendinya untuk melakukan sergapan mendadak, namun selalu menemui kegagalan.

Hal itu dikarenakan, kemampuan para perampok yang lebih menguasai medan pertempuran yang memang menjadi areal operasinya dibanding pasukan Mataram.

BACA JUGA:Sejarah Grebeg Getuk Tradisi Magelang Setiap Satu Tahun Sekali!

Tindakan para perampok yang kejam tersebut, sangat meresahkan rakyat Mataram. Siang sampai malam mereka selalu diliputi kecemasan, sehingga kenyamanan mereka sangat terusik.

Pada waktu itu, ada seorang pemuda dari daerah Watukura yang bernama Balitung yang dengan kesaktian yang dimiliki, dibantu oleh para pemuda daerah Mantyasih terrnyata mampu mengalahkan para perampok yang selama ini membikin resah rakyat Mataram.

Karena jasanya, maka Balitung diberikan anugrah sekar kedhaton Mataram yang bernama Giri Kanya. Ketika Sri Maharaja Watu Humalang sudah surud ing kasedan jati, tahta Mataram diserahkan kepada Balitung  dan diberi gelar abhiseka Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharumadaya Mahasambhu.

Setelah Balitung menjadi raja, sebagai ungkapan  terima kasihnya kepada rakyat Manyasih pada waktu menumpas para perampok, maka daerah Mantyasih dijadikan  daearah yang bebas memberikan upeti setiap tahunnya.

BACA JUGA:Grebeg Gethuk 2024, 17 Kelurahan Persembahkan Gunungan Palawija dan Beragam Kesenian Kota Magelang

Di samping itu daerah Mantyasih dijadikan sebagai daerah perdikan  yang dipimpin oleh 5 orang patih secara bergiliran.

Mereka itu adalah, Patih Pu Sna, Pu Kola, Pu Punjeng, Pu Kara, dan Pu Sudraka. Kepemimpinan mereka sangat disegani rakyat Mantyasih, sehingga kemakmuran dan ketentraman daerah perdikan tersebut menambah keagungan dan kewibawaan kerajaan Mataram.

Dari Jasa kelima patih tersebut, maka Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung  berkenaan mengeluarkan Prasasti Mantyasih.

Isi dari prasasti tersebut salah satunya menyebutkan bahwa Perdikan Mantyasih (sekarang Meteseh) dijadikan daerah sima yang bebas dari pajak. Arti nama Mantyasih berasal dari manti : panti, sangat, penuh dan sih : cinta kasih. Jadi Mantyasih berarti pengabdian yang penuh cinta kasih.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: magelang ekspres