Sendratari Babad Mahardika Proses Kreatif Perlu Evaluasi

Budayawan dan juga guru Seni Budaya SMK Kota Magelang, Dwi Anugrah--
BACA JUGA:Ratusan Penari Kota Magelang Meriahkan Pesta Rakyat Grebeg Gethuk 2024 di Alun-alun
Dari tonggak sejarah inilah Kota Magelang berdiri, sehingga usia Kota Magelang sampai saat ini telah mencapai usia 1.118 tahun yang setiap tanggal 11 April dirayakan bersama-sama dengan nuansa kegembiraan.
Sendratari tersebut sebagai bagian dari jenis tari kololal dramatik memuat unsur cerita atau narasi yang runtut sebagaimana jabaran dalam sinopsis.
Dwi Anugrah, budayawan dan juga guru Seni Budaya SMK Wiyasa ini menuturkan, “Kiranya kita layak mengapresiasi sendratari tersebut, karena sudah berhasil menyajikan penuh fantastik dan spektakuler dengan melibatkan berbagai pihak.”
Namun dibalik spektakukernya kiranya perlu adanya berbagai evaluasi sehinga ke depannya dapat disajikan lebih baik lagi. Dwi Anugrah, juga pernah menggarap sendratari Mantyasih baik sebagai sutradara maupun penata tari pada tahun 1988.
BACA JUGA:Kejutkan Warga Magelang, Kedatangan Elly Sugigi di Grebeg Gethuk 2024 Disambut Antusiasme Emak-emak
Pada waktu itu, Sendatari Mantyasih perdana dipentaskan di GOR Samapta dengan penanggung jawab Bapak Alit Maryono yang pada waktu menjabat sebagai Kasi Kebudayaan Kandepdikbud Kotamadya Magelang.
Adapun kiranya yang dapat menjadi bahan evaluasi, pertama terkait dengan kostum. Sebagaiman dalam narasinya, masa pemerintahan Hindu, belum ada kain surjan atau baju kebaya juga ikat kepala wulung.
Kalau sosok pria pasti telanjang dada, dan putri pakai kemben, walaupun itu kelas rakyat jelata. Demikian juga tokoh antagonisnya seperti para perampok, kebanyakan memakai kostum yang identik dengan kostum tari Soreng.
Bahkan kepala perampoknya memakai ikat kepala layaknya tokoh Sorengpati. Kiranya akan lebih harmoni bila telanjang dada, memakai kain supit urang, dan ornamen atas gelung kecil dengan rambut terurai panjang.
BACA JUGA:Setelah Vakum 4 Tahun, Perayaan Grebeg Gethuk Kembali Digelar di Kota Magelang
Sedangkan para penari putri banyak memakai hijab. Kiranya ini menjadi bahan pertimbangan. Penari dengan hijab dengan narasi setting Hindu akan menjadikan roh seni pertunjukan menjadi kabur, karena sangat paradoksal dengan setting cerita yang dibawakan.
Kedua, teknik gerak tari untuk rakyat dan laskar antagonis untuk ukuran pelajar dan sanggar sudah dapat menjadi standar presentasi estetis.
Namun, malahan untuk penari utamanya perlu menjadi perhatian. Tokoh panca patih sebagai tokoh utama yang notabene penari profesional malah tidak rampak.
Ada kegamangan dalam melakukan transmisi gerak, baik gerak maknawi maupun gerak murni atau gerak berpindah tempat. Terlebih dalam adegan perang dengan ketua perampok, gerak terlihat spontanitas, kurang perbendaraan, hanya memakai motif perang jeblosan saja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: magelang ekspres