MAGELANGEKSPRES -- Menyembunyikan aib orang lain merupakan tindakan yang sederhana, namun sering kali sulit untuk dilakukan. Manusia memiliki kecenderungan untuk berbagi cerita mengenai perasaan mereka, baik itu kesedihan, kebahagiaan, maupun kemarahan.
Namun, dalam proses berbagi cerita tersebut, sering kali manusia tidak dapat menahan diri untuk mengungkapkan aib orang lain.
Secara definisi, aib merujuk pada sifat buruk atau hal-hal yang tidak menyenangkan yang dimiliki seseorang.
Ketika aib tersebut disebarluaskan, hal itu dapat menimbulkan rasa malu. Aib merupakan bagian dari masa lalu individu yang seharusnya kita tutup rapat dan tidak disebarkan dengan maksud untuk merendahkan.
BACA JUGA:Mengenal Jawami’ al-Kalim, Keistimewaan Nabi Muhammad yang Tidak Dimiliki Nabi-nabi Sebelum Beliau
Setiap manusia pasti tidak terlepas dari kesalahan. Meskipun setiap amal ibadah dan kebaikan yang kita lakukan mendapatkan banyak pujian, jika Allah mengungkapkan aib kita, semua pujian tersebut dapat berubah menjadi cacian. Hal ini sejalan dengan peribahasa yang menyatakan bahwa karena satu noda, susu yang banyak bisa menjadi rusak.
Imam Ahmad bin Hambal pernah mengatakan ketika dipuji oleh seseorang, “Demi Allah, seandainya engkau mengetahui apa yang ada padaku berupa dosa dan kesalahan, niscaya engkau taburkan tanah di atas kepalaku”.
Ketidaksempurnaan manusia lah yang harus menjadi pengingat untuk tidak riya’ dalam beribadah, pula tidak membongkar keburukan seseorang di masa lalu. Seperti Hadits Riwayat At Tirmidzi yang berbunyi, “Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat”.
BACA JUGA:Cara Shalat Witir 3 Rakaat yang Benar Sesuai Hadits yang Shahih
Pentingnya Menjaga Kehormatan Orang Lain
Menjaga kehormatan orang lain dapat melindungi kita dari bencana dan dosa. Mengungkapkan aib orang lain berisiko membawa lisan kita pada dosa ghibah. Menggossip tentang orang lain sama dengan mengonsumsi daging bangkai saudara kita sendiri. Membicarakan tindakan yang tercela dan tidak terpuji.
Perbincangan negatif pernah terjadi pada salah satu Sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Salman al Farisi. Setelah selesai makan, Salman langsung tertidur dengan mendengkur. Perilaku Salman diketahui oleh orang lain dan dijadikan bahan pergunjingan. Akibatnya, aib tersebut menyebar dengan cepat. Sebagai respons terhadap pergunjingan ini, Allah berfirman dalam Quran Surat Al-Hujurat ayat 12 yang berbunyi:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
BACA JUGA:Seri Berbuat Baik #12, Meraih Predikat Al-Waashil dengan Menyambung Silaturahim
Dari Abu Barzah Al-Aslami, dia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Wahai orang- orang yang beriman dengan lisannya, tapi keimanannya belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian mengumpat seorang muslim dan jangan pula mencari-cari kesalahannya. Sebab siapa saja yang mencari-cari kesalahan orang lain, maka Allah akan mencari-cari kesalahannya. Maka siapa saja yang Allah telah mencari-cari kesalahannya, Allah tetap akan menampakan kesalahannya meskipun ia ada di dalam rumahnya”. (HR Abu Dawud)