Nu’man radhiyallahu anhu berkata,"Lantas aku melihat seorang lelaki menempelkan pundaknya ke pundak temannya, menempelkan lututnya ke lutut temannya dan menempelkan mata kakinya ke mata kaki temannya.”
(HR Abu Dawud 662, Ibnu Hiban ; 396, Ahmad : 4/276, Ad Daulabi dalam Al Kuna Wal Asma’ ; 2/86 dengan sanad yang shahih).
BACA JUGA:Meneladani Shalat Malam dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam
Al-Albani mengomentari hadits Anas dan Nu’man yang telah lalu,
“Dalam dua hadits tersebut terdapat banyak pelajaran ;
Pertama, Wajibnya menegakkan, meluruskan dan merapatkan shaf karena hal itu diperintahkan. Dan hukum asalnya wajib kecuali ada indikasi lain sebagaimana yang ditetapkan dalam ilmu ushul. Dan indikasi yang ada justru mengaskan kewajiban tersebut yaitu sabda Nabi shalallahu alaihi wa sallam ; ‘Atau (jika tidak) maka Allah akan membuat hati hati kalian bercerai berai’.
Ancaman semacam ini tidak dikatakan kecuali dalam sebuah perkara yang wajib sebagaimana dimaklumi bersama.
Kedua, Merapatkan shaf yang tersebut dalam hadits adalah dengan cara menempelkan pundak dengan pundak, sisi telapak kaki dengan sisi telapak kaki.
Karena inilah yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu anhum ketika mereka diperintahkan untuk meluruskan shaf. (Lihat Syarah Raudhatuth Thalib ; 1/222 oleh Syaikh Zakariya Al Anshari).
Dan teramat sangat disayangkan sunnah berupa merapatkan shaf ini disepelekan oleh kaum muslimin bahkan mereka menyia-nyiakannya kecuali sedikit saja dari mereka. Aku tidak mendapatkan keberadaan sunnah ini ada pada sebuah kelompok kecuali kelompok Ahli hadits.
Aku melihat mereka di Mekah tahun 1368 H mereka bersemangat berpegang teguh dengannya sebagaimana sunnah sunnah Nabi yang lain. Ini berbeda dengan kelompok selain mereka dari kalangan para pengikut madzhab yang empat aku tidak mengecualikan mereka sampaipun para pengikut Hanabilah.
BACA JUGA:Inilah Waktu Paling Afdal Shalat Dhuha
Sunnah ini (merapatkan shaf) di sisi mereka telah menjadi sesuatu yang dilupakan lagi disiakan. Bahkan mereka saling mengikuti satu sama lain untuk meremehkan serta berpaling darinya. Yang demikian karena mayoritas madzhab yang mereka ikuti menetapkan bahwa yang sunnah ketika berdiri (untuk shalat) merenggangkan antara dua telapak kaki sejauh empat jari jika lebih maka makruh sebagaimana disebutkan dengan rinci pada kitab Al Fiqh Ala Madzahibil Arba’ah ; 1/207.
Dan ukuran tersebut di atas tidak ada asalnya sama sekali dari sunnah, namun ia murni sebuah pendapat. Seandainya benar pendapat ini maka ia khusus berlaku untuk imam dan orang yang shalat sendirian, supaya tidak bertentangan dengan sunnah yang shahih ini (merapatkan shaf) sebagaimana konsekwensi dari kaidah kaidah ushul.
Kesimpulannya adalah "Aku berharap kepada kaum muslimin terutama para imam masjid yang bersemangat untuk mengikuti Nabi shalallahu alaihi wa sallam, serta mengharap keutamaan menghidupkan sunnah Nabi shalallahu alaihi wa sallam agar mereka mengamalkan sunnah ini, dan semangat menjaganya, serta mengajak manusia untuk mengamalkannya, sampai mereka berkumpul di atas sunnah tersebut. Hingga dengan demikian mereka selamat dari ancaman ; Atau (jika tidak) Allah akan mencerai beraikan diantara hati-hati kalian.”
(Selesai perkataan Imam Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah ; 1/40-41).