Bedah Buku Pecinan di Pecinan di Klenteng Hok Hoo Bio Wonosobo

Bedah Buku Pecinan di Pecinan di Klenteng Hok Hoo Bio Wonosobo

MAGELANGEKSPRES.COM,WONOSOBO – Berawal dari sebuah riset buku berjudul Menjaga Tradisi di Garis Tepi, Tedi Kholiludin akhirnya menelurkan sebuah karya baru yang diberi tajuk Pécinan di Pecinan. Buku bernafaskan ideologi keberagaman atau pluralisme yang memotret kondisi di tanah air, khususnya di Jawa Tengah itu, dibedah dalam diskusi di Klenteng Hok Hoo Bio Wonosobo, Selasa malam (4/2). Menurut penggagas acara bedah buku, Haqqi El Anshari, agenda itu memang diharap sejak selesainya penulisan buku untuk bisa diperkenalkan ke masyarakat Wonosobo sebagai salah satu wilayah yang kental dengan keberagaman. “Selain masih dalam momentum perayaan tahun baru Imlek, ini juga menjadi sebuah catatan yang penting bagi Wonosobo. Mengingat praktik kerukunan lintas iman hingga budaya sudah mengakar di sini. Buku ini sebenarnya juga memotret apa yang ada di keseharian kita, di mana masyarakat bisa hidup dalam harmoni berdampingan dalam perbedaan,” kata Haqqi, koordiantor Gusdurian Wonosobo. Dijelaskan Tedi, penggarapan buku itu tak lepas dari sebuah gagasan tentang bagaimana masyarakat di era ini bisa menerima keberagaman. Mengingat di era presiden Soeharto berkuasa, kaum minoritas, terutama keturunan Tiong Hoa seakan tidak mendapatkan tempat. Baca Juga Ribuan Gelar Mujahadah, Bersiap Hadapi Sidang Putusan Ganti Rugi Lahan Bendungan “Saya mencoba menggambarkan bagaimana kontribusi penanaman pengaruh budaya dari banyak bangsa yang masuk, khususnya di Semarang tak hanya Tiong hoa, ada dari Gujarat dan lainnya juga. Uniknya, Hibrid culture dan masaah konflik komunal tidak besar. Karena kebetulan Semarang di era colonial jadi kota pelabuhan sekaligus pintu masuk segala jenis kebudayaan dengan segala jenis negosiasi di dalamnya,” kata Tedi. Selama ini berbagai sentimen terhadap mereka yang dianggap hidup di lingkaran Pecinan atau kawasan orang Tiong Hoa diyakni karena konflik ekonomi yang ternyata tidak berimbas sampai masalah komunal maupun kebudayaan. Tedi juga melihat harmoni yang ada di Wonosobo seperti hadirnya klenteng yang juga menjadi duta keberagaman. Wonosobo disebut Tedi bisa jadi eksportir ideologi keberagaman ke luar dan bupati Kholiq pernah mendapat award Untuk Bupati yang mampu menjaga harmonisasi sosial pada 2013 lalu bersama Sri Sultan Hamengku Buwono X. “Memang ada konflik di 1900an, seperti di tahun 1930 tapi hanya kecil. Mengingat faktor historis yang mungkin sudah terbangun sejak sebelum era colonial. Di masa orde baru, belum ada ruang yang disediakan oleh negara untuk keduanya bersama di suatu event. Ada sebuah konstruksi yang menakut-nakuti kala itu. Padahal kelompok toing hoa juga tidak tunggal dengan karakrer yang beragam, bahkan ada juga yang muslim. Maka di era sekarang hubungan ini semakin baik dengan adanya media,” ungkapnya. Ketua pengurus Klenteng Hok Hoo Bio, Hasan Akli menyambut baik adanya diskusi yang mengangkat keberadaan kaum Tiong Hoa sekaligus menyambut para tamu di Klenteng yang menjadi rumah sembahyang bagi tiga kepercayaan itu. “Kami apresiasi agenda ini dan di Wonosobo masyarakat tionghoa membaur. Di sini ada akulturasi budaya lewat klenteng. Ngomong-ngomong, meski bukan muslim, saya juga kerap pakai peci saat agenda-agenda resmi. Kami juga sangat mengagumi dan menghormati sosok Gus Dur yang dulu mengangkat eksistensi kaum minoritas,” pungkasnya. (win)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: